Frase survival of the fittest ini juga berlaku di dunia perguruan tinggi di Indonesia. PTN-PTN yang kuat begitu berbeda dengan PTN lemah. Ilmuwan-ilmuwan dari PTN kuat penuh percaya diri. Sementara ilmuwan dari PTN lemah tampil penuh harap dan belas kasih dari ilmuwan-ilmuwan PTN-PTN kuat.
Jurang kualitas PTN kuat dan PTN lemah terasa sangat lebar. PTN-PTN yang kuat (maaf!) sangat menikmati jurang kualitas ini. Tatkala PTN-PTN kuat harus bekerja sama dengan PTN lemah, akan ada istilah yang sangat terkenal: PTN kuat sedang membina PTN yang lemah. Sering istilah membina tersebut dipelesetkan menjadi membinasakan. Sebab, yang sering terjadi adalah asas pemanfaatan: yang kuat memanfaatkan yang lemah.
Akibatnya, PTN-PTN lemah lebih nyaman bekerja sama dengan PTN-PTN asing. Hal ini dilakukan bukan karena ingin bergaya kebarat-baratan. Juga bukan perkara mental inlander. Ini perkara keadilan. Tak ada satu pihak pun di dunia ini yang mau bekerja sama dengan pihak lain kalau duduk tidak sama rendah dan berdiri tidak sama tinggi. Apalagi sesama anak bangsa.
Sangat jarang kita temui ilmuwan-ilmuwan dari PTN-PTN kuat yang secara sadar dan ikhlas ikut memperjuangkan keadilan bagi PTN lemah. Padahal, bangsa ini tak mungkin bisa maju kalau hanya PTN kuat saja yang harus berkembang dan diberi kepercayaan menghela atau menarik ”pedati” kualitas dan kebebasan akademik. Kita harus bergerak dengan kekuatan yang merata dan berjemaah untuk mengalahkan bangsa-bangsa lain.
Kesalahan kita selama ini, yang telah memberikan perhatian yang sangat berlebihan kepada PTN-PTN kuat, harus dikoreksi. Contoh kasus memalukan yang menimpa bangsa kita dan telah disadarkan oleh Dirjen Dikti adalah jumlah publikasi ilmuwan-ilmuwan kita yang kalah telak oleh jumlah publikasi ilmuwan-ilmuwan Malaysia. Kalau mau jujur, ilmuwan-ilmuwan dari PTN-PTN kuat inilah yang paling bertanggung jawab terhadap kalahnya kita bersaing dari segi publikasi internasional ”melawan” ilmuwan-ilmuwan dari negara jiran, Malaysia.
Dua catatan
Di akhir artikelnya yang penuh idealisme, Prof Sulistyowati Irianto mengajak masyarakat luas dan negara untuk mendukung kebebasan akademik yang sedang diperjuangkan demi kejayaan Indonesia. Saya yakin dukungan akan diperoleh dari masyarakat luas, negara, dan rekan-rekan ilmuwan dari PTN-PTN yang lemah, dengan mempertimbangkan dua catatan berikut.
Pertama, kesalahan yang pernah dibuat oleh PTN-PTN kuat, yaitu melakukan komersialisasi pendidikan yang terasa sangat vulgar, tidak boleh terulang lagi. Tatkala MK membatalkan UU BHP dengan alasan melanggar UUD 1945, sungguh alasan yang sangat menyakitkan. PTN-PTN kuat seakan telah lari dari masyarakat yang telah melahirkan dan membesarkannya. Masyarakat luas, terutama yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi, merasa seakan-akan telah ditinggalkan oleh PTN-PTN kuat.
Kedua, PTN-PTN di seluruh Indonesia harus diupayakan adil dan merata kualitasnya. Atau dalam bahasa Prof Sulistyowati, ”...melahirkan hubungan kolegial yang egaliter dan sehat atas dasar saling menghormati dan memberdayakan di antara para ilmuwan.” Seharusnya PTN-PTN kuat, seperti ITB, IPB, UI, dan UGM, hadir tidak hanya di Pulau Jawa, tetapi kualitas mereka yang hebat harus hadir juga di daerah- daerah pada wilayah NKRI yang sangat luas dan majemuk ini.
Syamsul Rizal Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.