Dalam pemikiran Jacques Derrida, praktik koruptor sebagai pencuri dan dosen sebagai pendidik menghasilkan perbedaan, tetapi juga penundaan makna. Perbedaan itu tidak hanya menghasilkan sisi hitam dan sisi putih, tetapi juga menghasilkan ruang penundaan warna yang jelas.
Artinya, seorang pendidik beralih rupa jadi pembohong dan pencuri karena ada pemahaman yang relevan di antara keduanya. Pemahaman itu berwujud sikap terhadap pengelolaan aset-aset dan keuangan negara. Ruang-ruang ”antara” tersebut menjembatani perbedaan peran sebagaimana diasumsikan pada awal mulanya.
Berdasarkan argumentasi itu, tidak bisa dimaklumi manakala seorang rektor, pembantu rektor, dekan, kepala laboratorium, dan seterusnya terbukti menggelapkan uang negara. Terlebih hanya karena pekerjaan utamanya adalah dosen. Kita memang tidak sedang berbicara tentang transformasi ilmu pengetahuan, tetapi lebih tepatnya dimensi sikap para pengembang ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan adalah bagian dari perwujudan kepentingan luhur kemanusiaan, dimensi nilai-nilai kebangsaan bukanlah bagian yang terpisahkan dari setiap aparat negara.
Kejadian ini kian membuktikan, pemerintah tak memiliki program implementasi nilai-nilai kebangsaan yang bisa diandalkan pada setiap aparat pendidik di Indonesia. Itulah mengapa kemajuan pendidikan berjalan lambat, mekanisme pengawasan internal dijalankan apa adanya, dan mekanisme pendidikan program pencerdasan dibaca sebagai proyek menggiurkan.
SAIFUR ROHMAN, Pengajar Program Doktor Ilmu Pendidikan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.