Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan yang Membebaskan

Kompas.com - 02/07/2012, 09:46 WIB
Oleh Saratri Wilonoyudho

Sudah berapa puluh kali Kompas dan media massa lain mengabarkan kehebatan sosok-sosok pembaru yang cerdas dan berdedikasi tinggi di bidang pendidikan.

Kompas (4/6/2012), misalnya, menggambarkan sosok Suyudi, sukarelawan yang mendirikan sekolah alam di Klaten. Anak didik tidak diperlakukan sebagai obyek, namun subyek yang turut menentukan nasibnya sendiri. Melalui sekolah alam, ia ingin menunjukkan bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah memperlakukan anak agar menjadi manusia yang utuh. Tidak sekadar menjejalkan aneka informasi dan ilmu, tetapi juga bagaimana mengajak anak didik menemukan dirinya.

Dalam bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan. Sekolah alam ala Suyudi, dan yang bertebaran di tempat lain, ingin mengoreksi sistem pembelajaran terutama di tingkat dasar dan menengah yang cenderung satu arah. Pendidikan pada dasarnya adalah upaya penanaman sikap hidup, pandangan hidup, nilai-nilai tentang kehidupan, dan keterampilan hidup.

Pertanyaannya, kalau seorang Suyudi saja bisa mengembangkan pendidikan yang kreatif dan menyenangkan seperti ini, mengapa pemerintah tidak mengembangkannya juga? Yang terjadi di dunia persekolahan formal kita adalah suasana stres karena anak-anak dikejar ketuntasan pelajaran yang membosankan, yang tidak terkait dengan kebutuhan dan realitas keseharian, serta ujian nasional yang menekan saraf psikologisnya.

Dunia pendidikan harus menciptakan peluang bagi pembudayaan individu agar kapasitasnya berkembang, demikian pakar-pakar seperti Bertrand Russell, Paulo Freire, Ivan Illich, Montessori, Neil Postman, Ki Hadjar Dewantara, Moch Sjafei, dan Dewi Sartika. Mereka berbicara tentang pendidikan dari kacamata yang berbeda dan luas, terutama berkaitan dengan ”pemerdekaan” dari ”kebudayaan bisu”.

Dalam teori konflik, tampak bahwa peran sekolah disadari atau tidak juga melegitimasi dominasi elite sosial, bahkan sekolah merupakan bagian dari kepentingan masyarakat untuk mempertahankan struktur sosial, stratifikasi sosial, dan melayani kelas sosial tertentu. Dapat dipahami jika kelompok masyarakat miskin adalah pihak yang paling susah mengikuti irama pendidikan.

Perkembangan berbeda

Meski penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa rata-rata IQ bayi berumur kurang dari dua tahun tak berbeda signifikan, faktor-faktor ketika anak berangkat besar, seperti kekurangan gizi dan sarana pendidikan, membuat anak dari golongan miskin jauh tertinggal. Orang kaya sanggup ”menghadirkan” sekolah di rumah: ada guru les piano, komputer, dan seterusnya.

Umumnya, anak-anak orang miskin bersekolah di lingkungan kumuh, terbelakang, dan akrab dengan kekerasan. Lingkungan yang tidak ramah ataupun rasa percaya diri yang rendah menjadikan anak miskin cenderung agresif, mudah terprovokasi, dan mudah tersinggung.

Relevansi sekolah alam ala Suyudi juga terkait dengan meredupnya pamor IQ sebagai salah satu ukuran kecerdasan. Mengutip David Brooks dalam The Waning of IQ, Ninok Leksono (Kompas, 19/9/2007) menulis: ”Sementara psikometrika menawarkan daya tarik semu fakta obyektif, sains baru membawa kita kembali ke dalam kontak dengan sastra, sejarah, dan kemanusiaan, dan—pada akhirnya—ke keunikan individu”.

Banyak orang yang tinggi IQ-nya tetapi tidak sukses meniti karier, bahkan untuk sekadar bergaul. Buku Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, Howard Gardner (Basic Books, 1983) menyebut ada tujuh macam kecerdasan.

Kecerdasan-kecerdasan itu adalah 1. kecerdasan linguistik (kecakapan dan kepekaan terhadap arti dan tata kata); 2. Kecerdasan logika-matematika; 3. Kecerdasan musikal (untuk memahami dan mencipta musik); 4. Kecerdasan spasial (kecerdasan berpikir dalam gambar atau visual); 5. Kecerdasan tubuh-kinestetik (keterampilan olah tubuh untuk berekspresi seperti penari, olahragawan); 6. Kecerdasan antarpribadi atau interpersonal, yakni kecakapan untuk memahami individu lain; serta 7. Kecerdasan intrapersonal, yakni kecakapan untuk memahami diri dan menggunakan pengalamannya untuk membimbing orang lain. Masih ada kecerdasan lain, yaitu kepemimpinan edukasional.

Dalam proses tersebut semestinya semua aspek pendidikan dikaji secara kritis sehingga menghasilkan suatu bentuk sekolah yang merupakan ajang interaksi berbagai latar belakang masyarakat untuk saling memahami dalam suasana kesetaraan, keadilan, dan penghormatan. Sekolah menjadi bangunan budaya dalam arti luas.

Gagasan pendidikan multikultural ini sangat menarik jika dikaitkan dengan negeri multietnis seperti Indonesia. Sebagaimana disinggung Huntington sebelumnya, masalah integrasi nasional menjadi persoalan serius bagi negara yang baru merdeka dengan multietnis-nya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com