Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Ibu, Jangan Kau Berkecil Hati"

Kompas.com - 30/08/2012, 11:02 WIB
Luki Aulia

Penulis

KOMPAS.com - Ibu yang kusayangi. Jangan kau berkecil hati, walau ku mempunyai kekurangan. Tapi ku tetap bersemangat dan berjuang, demi cita-citaku dan masa depanku. Oh ibuku, semoga engkau tabah dan bisa terima semua ini. Doakan saja agar aku bisa jadi anak yang berguna.

Emma (14), anak berkebutuhan khusus tunanetra, menyanyikan lirik lagu karyanya sendiri itu di hadapan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, seusai acara puncak Peringatan Hari Anak Nasional 2012 yang dihadiri Presiden  Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (29/8/2012) kemarin, di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.

Suara siswa kelas empat di Pendidikan Luar Biasa Yayasan Keluarga Kependidikan, Pacitan, Jawa Timur, itu terdengar lirih namun merdu, saat melantunkan lagu berjudul Jangan Berkecil Hati yang baru ia ciptakan saat bulan puasa lalu.

Seusai bernyanyi, Emma bercerita ia ingin menghibur ibunya, Sukiyem, melalui lagunya ini.

Kala ia masih kecil, tutur Emma, ibunya sempat syok dan tidak bisa menerima kenyataan akan kondisi anaknya yang tidak bisa melihat. Emma didiagnosis tidak akan bisa melihat lagi, meski menjalani operasi atau mendapat donor mata. Penyebabnya, ada kerusakan pada saraf kedua bola matanya.

"Saya coba buat lagu ini untuk menghibur dan menabahkan hati ibu saya. Saya ingin ibu saya bisa tabah menghadapi segala cobaan ini. Dari empat saudara, hanya saya yang tidak normal. Ibu mikirnya saya yang paling menderita," kata Emma, yang sudah menciptakan enam lagu itu.

Meski bersuara merdu dan kerap menulis lagu, Emma tidak lantas ingin serius menekuni profesi sebagai penyanyi atau pencipta lagu. Menyanyi dan mencipta lagu, hanya mau dijadikannya sebagai hobi atau kegiatan sampingan. Sejak kecil cita-citanya tidak berubah, ingin menjadi guru. Alasannya, agar ia bisa mengajar anak-anak tunanetra.

"Guru itu kan tulus untuk membimbing dan tidak pernah mengharapkan apa-apa," kata anak bungsu dari pasangan Poniran dan Sukiyem itu.

Menurut guru wali kelasnya, Totok, seharusnya Emma sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Namun sampai saat ini ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar, karena Emma terlambat dimasukkan ke sekolah.

"Mungkin karena rumahnya jauh sekali dari sekolah. Selama ini tidak ada masalah di pelajaran, karena Emma cepat menangkap pelajaran. Kami berusaha membantunya belajar di kelas. Harus didampingi khusus," ujarnya.

Ceramah dan doa

Jika Emma pandai mengolah suara dan mencipta lagu, Hakim (10) pandai berceramah dan berdakwah. Panggilan atau permintaan untuk berceramah, berdatangan dari berbagai instansi Pacitan.

Anak berkebutuhan khusus tunadaksa yang kini kelas tiga di sekolah yang sama dengan Emma itu, telah diajari berdakwah oleh neneknya, Ismi, sejak usia tujuh tahun.

Ismi yang pensiunan guru, selalu membantu mencarikan materi-materi isi ceramahnya dari berbagai sumber. Karena kerap tampil di muka publik, Hakim duduk di atas kursi rodanya dengan percaya diri saat membacakan doa di hadapan para menteri dan Presiden.

"Simbah yang ajari doa. Mau jadi ustadz. Mau tentara tapi tidak punya kaki sama tangan," jawab Hakim pendek-pendek, saat menjawab pertanyaan dari Menteri Linda Amalia Sari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com