JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat pendidikan Utomo Danan Jaya mengungkapkan, kembali maraknya tawuran antar-pelajar dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat yang terus menggerus karakter para pelajar. Generasi muda disuguhkan informasi yang lebih banyak mempertontonkan tokoh masyarakat yang berperilaku buruk, jauh dari ekspektasi yang seharusnya menjadi teladan.
"Seharusnya tokoh masyarakat memberi contoh bagaimana cara sopan santun, menghargai sesama, jujur, dan arif. Tetapi yang dipertunjukkan justru sebaliknya," kata Utomo saat dihubungi Kompas.com, Rabu (26/9/2012).
Ia juga menyinggung materi pendidikan karakter yang tidak aplikatif dan hanya diselipkan dalam kurikulum pendidikan. Menurutnya, pendidikan karakter tidak akan berhasil tanpa diikuti dengan proses belajar-mengajar yang mencerminkan hal tersebut.
"Karena pendidikan karakter itu bukan mata pelajaran, bukan program, melainkan metode pendidikan. Bagaimana pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana mewujudkan suasana belajar agar siswa aktif mengembangkan pribadi dan karakternya menjadi baik," ungkap akademisi Universitas Paramadina itu.
Membentuk karakter di sekolah, kata Utomo, salah satunya menjadi tugas guru. Namun, sayangnya kemampuan guru hanya sebatas menguasai transfer ilmu pengetahuan, bukan penekanan pada metode belajar.
"Guru tidak mempelajari materi metode belajar yang dapat mengembangkan karakter pelajar itu," tandasnya.
Dalam kurun tiga hari, dua siswa sekolah menengah di Jakarta tewas sia-sia dalam aksi tawuran antar-pelajar. Semua pihak bereaksi, tak terkecuali pemerintah pusat dan parlemen. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan jajarannya masih fokus untuk menjaga suasana belajar yang kondusif sembari terus menerima masukan opsi untuk mengatasi permasalahan klasik ini.
Berita terkait peristiwa ini dapat diikuti dalam topik "Tawuran Berdarah"