KOMPAS.com - Tawuran yang mengakibatkan korban jiwa masih menjadi topik hangat kita minggu ini. Sebenarnya ada bibit kekerasan fisik maupun mental yang enggak kalah buruk akibat dari tawuran. Kekerasan itu bahkan sering kali kita anggap ”biasa”. Itulah ”bullying”.
Kita sendiri mungkin enggak sadar sudah melakukan bullying, atau korban bullying. Seorang siswa bercerita, dia sampai memilih pindah sekolah karena tak tahan dikucilkan temannya. Ketika waktu perpisahan tiba, pelaku bullying tak merasa bahwa si teman terpaksa pindah sekolah akibat kelakuannya.
Seorang siswa lain sampai tak meneruskan mengikuti ekskul paskibra karena bentakan dan kata-kata sinis yang diucapkan seniornya. ”Waktu saya cerita ke teman lain, dia malah bilang, ’Itu biasa. Itu kan usaha dia buat mendisiplinkan kita, anak baru’,” ceritanya.
Siswi sebuah SMK di Jakarta Selatan pun sempat ditarik tiga siswi seniornya ke toilet sekolah. Di tempat ini, ia diinterogasi bak pesakitan, gara-gara siswi senior curiga si yunior jatuh hati kepada cowok yang diincarnya. Lama kemudian si yunior masih merasa ketakutan, meski sang senior menganggap masalah selesai.
”Bullying itu bisa berupa pengucilan, pelecehan, pemalakan, intimidasi, ejekan, gosip, fitnah, sampai kekerasan fisik. Semakin si korban merasa tertekan atau takut, semakin senang pelaku bullying. Kami di sini biasanya mendampingi korban,” kata Amanda (16), salah seorang sukarelawan Caring Teens Community (CTC) yang berkolaborasi dengan Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa).
Nabila (17), sukarelawan lainnya bercerita, sebenarnya sejak SD sudah tahu tentang bullying dari sang bunda, seorang psikolog. ”Tetapi biarpun secara teori tahu, praktiknya enggak gampang. Buat si korban, ledek-ledekan meski cuma ucapan, sudah cukup membuat dia enggak nyaman. Efeknya dia jadi takut atau malu banget. Setiap orang, kan, punya kadar toleransi ’bercanda’ yang beda,” katanya.
Korban sekaligus pelaku
Abu (19) dan Dian (16), sukarelawan CTC lainnya bercerita, dalam kasus bullying bisa jadi pelaku sebenarnya juga korban bullying. Abu mencontohkan, siswa yang di rumah dijadikan bulan-bulanan orangtua/ortu (berarti korban), bisa mengalihkan rasa kesalnya dengan menggertak teman di sekolah (pelaku).
Amanda menambahkan, dari pengalamannya berbagi pengetahuan tentang bullying di sebuah sekolah di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, ia mendapati siswa yang dengan entengnya memukul teman. Si siswa mengaku, memukul adalah hal biasa karena dia pun sering dipukul ortu meski hanya untuk hal sepele.
Diena Haryana, Ketua Yayasan Sejiwa, lembaga yang aktif berkampanye melawan bullying, menambahkan, kedekatan hubungan keluarga penting untuk membantu anak memiliki rasa aman. Kondisi itu berdampak pada kerja otak yang seimbang, termasuk hormonnya.
”Biasanya anak jadi percaya diri, mampu berpikir, kreatif, pandai bergaul, dan bersemangat. Potensi dirinya akan muncul, berbagai kecerdasannya siap diasah. Dia siap berprestasi. Kondisi itu tak memandang latar belakang sosial-ekonomi keluarga. Sebaliknya, perilaku keras ortu kepada anak juga bisa terjadi pada semua kalangan,” katanya.
Namun yang terburuk, tambah Diena, perilaku keras ortu kepada keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Di sini anak mengalami situasi buruk, yaitu kekerasan dan tekanan ekonomi yang mengimpit batin. ”Dia bisa menjadi anak yang sulit dikendalikan karena merasa kesepian, terbuang, rendah kepercayaan dirinya.”
Mengapa bullying muncul terutama saat kita remaja? Menurut Diena, karena secara hormonal kita lagi mengalami perubahan. Tanpa ada bullying pun, remaja cenderung sensitif dan galau. Apalagi kalau kita harus menghadapi bullying juga. ”Mereka jadi mudah terpicu emosinya, dan bereaksi sesuai dasar kepribadian masing-masing.”
Kemungkinan reaksi itu ada tiga, yakni Fight (yang berarti ia melawan, menunjukkan rasa marah dengan mengamuk), Flight (melarikan diri dari luka batin, ini bisa ke arah negatif seperti narkoba, miras, internet tak sehat/pornografi), dan Freeze (sikapnya ”membeku”, ia kehilangan nalar sehat, tak mampu berpikir, depresi, tak termotivasi untuk hidup).
”Kalau korban bullying memilih Fight, dia akan mengeluarkan energi marahnya tanpa rasa takut. Ini lalu membuat dia jadi pelaku bullying. Tetapi kalau korban bereaksi Freeze, dia benar-benar korban yang memerlukan empati, bahkan pada tingkat yang lebih parah bisa jadi depresi,” lanjut Diena.