JAKARTA, KOMPAS.com — Tujuh anak dari keluarga miskin di daerah Johar Baru yang menuntut ilmu di Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) terancam tidak mendapatkan hak pendidikan.
Mereka tidak lagi diakui sebagai binaan oleh SMP induknya, yaitu SMP Negeri 28. Salah seorang guru TKBM, Helmi Ariestiani, mengatakan, SMP Negeri 28 beralasan tidak sanggup lagi membina TKBM.
Ditambah lagi, sekolah yang berada di kawasan Johar Baru tersebut tengah merenovasi gedung sekolah.
"Total siswa ada 22 orang. Yang 15 orang itu sudah kelas IX dan administrasinya sudah jelas. Yang kelas VII ini sekarang tak diakui," kata Helmi, ketika dijumpai di kantor Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta, Jumat (12/10/2012).
Ia menjelaskan, TKBM yang merupakan sekolah formal bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu ini terakhir menerima siswa untuk tahun ajaran 2010/2011 karena sekolah induk tak mampu menampung.
Namun, memasuki tahun ajaran 2012/2013, tujuh anak ini beserta orangtuanya datang dengan niat bersekolah.
"Tidak mungkin, kan, kami tolak. Mereka memang memiliki hak untuk bersekolah. Karena itu kami terima. Tapi, sayang sekolah induknya tetap tak mau menerima," jelas Helmi.
Akibat dari tidak diakui oleh sekolah induknya, tujuh anak ini dianggap tidak terdaftar sebagai murid jenjang SMP di DKI Jakarta.
Dengan demikian, hak atas bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan operasional pendidikan (BOP), rapor, dan ujian yang digelar sekolah dan pemerintah tidak diperoleh anak-anak ini.
Padahal, BOP dan BOS justru ditujukan untuk membantu siswa miskin. Terkait dengan masalah ini, Helmi dan rekan guru TKBM telah melapor pada Suku Dinas Pendidikan Jakarta Pusat agar mendapatkan jalan keluar untuk tujuh anak ini.
Namun, sayangnya tak ada solusi bagi masalah yang menimpa tujuh anak ini. Di Jakarta sendiri terdapat delapan TKBM yang menginduk pada SMP negeri dan salah satunya adalah SMP Negeri 28 Jakarta.
TKBM ini diperuntukkan bagi anak kurang mampu yang tidak tertampung di sekolah reguler atau swasta karena tak mampu membayar pungutan sekolah.
"Kami hanya minta mereka diakui. Tidak masalah untuk ruang kelas. Tapi, setidaknya jika lulus, mereka tetap mendapat ijazah yang diakui untuk kelanjutan pendidikan mereka," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.