Ketika Gemas Melihat Tawuran

Kompas.com - 19/10/2012, 12:44 WIB
Suhartono

Penulis

KOMPAS.com — Tawuran yang terjadi terus-menerus membuat Komisi Perlindungan Anak Indonesia gerah. Sebab itu, sejak beberapa bulan lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia melakukan monitoring dan evaluasi (monev) bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di sekolah dan di masyarakat umum.

”Kami melakukan monev di sembilan provinsi untuk mengetahui tindak kekerasan yang sering terjadi sekaligus menyosialisasikan upaya pencegahannya,” kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Badriyah Fayumi, Kamis (18/10), di Jakarta.

Kecuali DKI Jakarta, sembilan provinsi yang dijadikan sasaran KPAI adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Banten, Sumatera Barat, Lampung, Jambi, dan Kalimantan Timur. Jakarta tak terpilih karena terlalu sering muncul di media.

Total respondennya tercatat 2.113 orang dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat hingga pengelola dan penghuni pesantren, panti asuhan, pengelola mal, serta anggota masyarakat lainnya. Respondennya terbagi dua. Sebanyak 377 responden merupakan responden orangtua serta 328 responden guru untuk kuesioner kategori persepsi maupun kategori tindak kekerasan. Selain itu, ada 382 responden anak untuk kuesioner kategori persepsi anak dan 1.026 responden untuk anak. Mereka ini berasal dari tingkat SD, SMP, SMA, dan madrasah.

Hasilnya, tindak kekerasan secara psikis, fisik, ataupun kekerasan seksual masih cukup tinggi terjadi. ”Dari 1.026 responden anak yang ditemui dan memberikan pengakuan, tercatat 91 persennya mengaku masih mendapat tindak kekerasan di keluarga. Adapun 87,6 persen mengaku mendapat kekerasan di lingkungan sekolah. Hanya 17,9 persen yang mengalami kekerasan di masyarakat,” kata Badriyah.

Yang memprihatinkan, tambah Badriyah, anak dengan mudah meniru tindak kekerasan yang ada dan selanjutnya menjadi pelaku kekerasan terhadap teman-teman mereka sendiri.

”Anak sebagai korban perilaku kekerasan orang terdekat disebabkan oleh peran orangtua yang tidak berjalan sebagaimana seharusnya atau salah dalam menentukan pola pendisiplinan anak di sekolah. Terlebih lagi menganggap anak adalah seseorang yang tak tahu apa-apa,” tambah Badriyah.

Kebiasaan seperti menjewer, mencubit, menendang, memukul, membentak, dan menghina oleh orangtua, guru, atau orang dewasa seolah hanya menjadi bagian hukuman yang diharapkan dapat memberikan efek jera pada anak. Padahal, yang terjadi, anak kemudian meniru tindakan tersebut dan menerapkan kepada temannya.

Anak pun menjadi pelaku kekerasan terhadap adik atau seseorang yang usianya dianggap lebih muda. ”Inilah yang di sekolah disebut bullying dan menjadi perhatian KPAI agar masyarakat mengetahui dan mencegahnya,” lanjutnya. Persentase anak sebagai pelaku kekerasan terhadap adik atau orang yang lebih muda mencapai 52,1 persen.

Pencegahan kekerasan dan tawuran juga gencar dilakukan oleh petugas Penanganan Perempuan dan Anak (PPA) di Kepolisian Resor Jakarta Selatan. ”Kami merazia mereka yang membuat senjata tajam sendiri, dan memberikan bimbingan kepada anak-anak yang akan dan pernah terlibat tawuran, di antaranya mewajibkan anak-anak yang terkena razia untuk wajib lapor seminggu dua kali ke polres,” ujar Kepala Unit PPA Polres Jakarta Selatan Iptu Angreini, Senin (15/10) lalu. (har)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau