JAKARTA, KOMPAS.com — Fenomena unik ini menyentak sekaligus menimbulkan pertanyaan. Trennya, nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam berbagai tes kerap lebih rendah dibandingkan dengan mata pelajaran bahasa asing, biasanya Bahasa Inggris. Bukan hanya dalam ulangan harian, baik pada ujian nasional (UN) maupun tes masuk perguruan tinggi juga menunjukkan hasil yang serupa. Hal ini ironis mengingat bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu. Pada akhirnya bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang sulit dipelajari.
Dosen Program Studi Sastra Indonesia yang juga anggota Departemen Linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Untung Yuwono, mengatakan, anggapan bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia sulit dipelajari muncul dari hasil tes Bahasa Indonesia yang hasilnya lebih rendah daripada hasil tes mata ajar yang lain. Menurut dia, hasil ini harus ditelaah lebih lanjut dengan melihat substansi tes dan kaitan antara kurikulum dan substansi tes.
“Tiga tahun terakhir ini memang hasil UN dan tes-tes Bahasa Indonesia yang lain, seperti tes masuk perguruan tinggi, menunjukkan nilai Bahasa Indonesia yang lebih rendah daripada hasil tes yang lain, bahkan dari mata ajar yang biasanya menjadi momok seperti matematika,” kata Untung kepada Kompas.com, Selasa (30/10/2012).
Melihat fenomena ini, dia mengungkapkan, hal ini terjadi sebagai hasil dari perubahan paradigma dalam pengajaran Bahasa Indonesia, yaitu perubahan dari paradigma struktural ke paradigma komunikatif. Awalnya, pengajaran Bahasa Indonesia menggunakan paradigma struktural baik untuk pengajaran sehari-hari maupun tes-tes bahasa yang diujikan. Dengan paradigma ini, umumnya yang ditanyakan dalam tes adalah masalah struktur atau kaidah bahasa.
“Jadi, tekanannya pada bahasa Indonesia yang benar. Lebih mudah memang mengukurnya, seperti orang mengingat rumus, lalu ditanyakan dalam tes. Kalau ingat rumus, pasti bisa menjawab,” jelas Untung.
Sementara saat ini pengajaran Bahasa Indonesia bergeser menggunakan paradigma komunikatif baik dalam pengajaran sehari-hari hingga saat ujian. Dengan ancangan atau pendekatan ini, siswa dihadapkan pada pemakaian bahasa yang sesuai dengan situasi. Jadi, tekanannya adalah bahasa Indonesia yang baik atau bahasa yang sesuai dengan situasi. Adapun tekanan pada Bahasa Indonesia yang benar menjadi berkurang.
“Perubahan ini tentu mengubah bentuk tes sesuai paradigma yang digunakan. Dengan paradigma ini, basisnya dalam tes adalah wacana dan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pemahaman teks dan pemakaian bahasa,” ungkap Untung.
Sayangnya, perubahan paradigma pengajaran ini tidak diikuti dengan perubahan pola ajar yang diterapkan. Ia menjelaskan, dengan paradigma komunikatif ini, anak-anak memerlukan waktu belajar yang lebih lama karena kaidah kebahasaan mulai berkurang dan pemakaian bahasa dalam situasi komunikasi ditambah. Selain itu, banyak varian dalam bahasa Indonesia yang muncul saat menggunakan paradigma ini baik bahasa formal maupun bahasa nonformal.
“Dulu hanya bahasa baku yang mendapat tekanan. Sekarang, kelebihan ancangan komunikatif adalah siswa menjadi lebih sadar atas varian bahasa, kemudian kompetensi yang diperoleh adalah memakai bahasa sesuai dengan situasi. Tapi, sekali lagi, waktu belajar yang dibutuhkan lebih lama,” tandasnya.
Simak berita dan opini tentang dinamika perkembangan bahasa Indonesia dalam topik "Bahasa dan Generasi Muda Indonesia"