JAKARTA, KOMPAS.com — Para pelaku kejahatan seksual anak di dunia maya menggunakan media sosial antara lain seperti Facebook untuk mencari korban. Mayoritas anak yang diincar berusia 13-17 tahun terutama perempuan dan berasal dari negara miskin atau negara berkembang.
Anak tidak menyadari ancaman bahaya ini karena para pelaku kerap memalsukan identitas terutama pada bagian usia. Hal ini mengemuka dalam konferensi internasional tentang "Kejahatan Seksual terhadap Anak secara Online", Selasa (30/10/2012), di Jakarta.
Contoh-contoh foto tersangka pelaku kejahatan seksual anak dipaparkan Jeff Wu dari bagian Law Enforcement Relation Lead di Facebook Asia Pasifik dalam konferensi.
Khusus di Indonesia, ada enam foto laki-laki tersangka pelaku berusia antara 30-45 tahun yang telah teridentifikasi sebagai pelaku dan diselidiki sejak 1,5 tahun lalu. Hasil penyelidikannya pun telah dilaporkan ke kepolisian RI, tetapi belum ada tindak lanjutnya.
"Pelaku kerap berpindah-pindah ke negara lain sehingga butuh waktu untuk melacak mereka, tetapi kami tetap bisa lacak dan ikuti sepak terjangnya. Enam tersangka itu masih beredar di Facebook dengan nama yang berbeda-beda," kata Wu.
Perwakilan Terre des Hommes Netherlands Regional Office Southeast Asia Lenny Kling menambahkan, para pelaku ini lebih nyaman berada di daerah-daerah miskin. Selain karena longgarnya aturan perundang-undangan yang melindungi anak, daerah miskin dianggap sebagai sasaran empuk karena banyak keluarga miskin yang membutuhkan uang dengan cara cepat dan mudah.
Hal ini terjadi pada anak-anak perempuan yang berasal dari keluarga nelayan miskin di Filipina. Banyak anak yang dipaksa orangtuanya berpose seronok di depan komputer dengan imbalan uang. Bagi yang menginginkan foto atau rekaman videonya, harus membayar terlebih dahulu ke nomor rekening tertentu.
"Nanti orangtua anak-anak itu ke bank pencair untuk mengambil uangnya. Mereka tidak merasa itu salah karena, toh, anaknya tidak dipegang-pegang," kata Enaliya Sudartama, Regional Communication Officer Terre des Hommes. Jo Ann Suarez Pabriaga dari Children's Legal Bureau Inc menceritakan pengalaman di kota Cordova, Filipina.
Banyak keluarga miskin yang membeli komputer lengkap dengan koneksi internet yang memaksa anaknya untuk memperlihatkan bagian-bagian tubuh pribadinya di depan komputer.
"Si penonton diminta membayar dengan cara transfer. Biaya rata-rata 50-200 dollar AS tergantung durasi 'pertunjukannya'. Hal ini meluas dan bahkan sekarang seperti ada organizer-nya," kata Jo Ann.
Rentan
Kasus seperti ini diyakini bisa juga terjadi di Indonesia. Apalagi mengingat Indonesia termasuk pengguna Facebook terbesar di Asia Tenggara. Dari sekitar 246 juta penduduknya (2011), 55 juta penduduk telah menggunakan internet (2011) dan 43,5 juta di antaranya memiliki akun di Facebook.
Salah seorang peserta dari Kepolisian Negara RI mengemukakan sulitnya menangani kasus kejahatan seksual anak di dunia maya.
Banyak kasus ditemukan berawal dari hubungan suka sama suka karena si anak tidak menyadari sudah jatuh ke bujuk rayu pelaku kejahatan hingga bersedia melakukan hubungan intim. Ketika hubungannya memburuk, pelaku akan memanfaatkan anak dan memeras anak hingga tidak berani mengadukan ke polisi.
Napoleon Bonaparte dari Polri di hari pertama konferensi juga mengemukakan banyaknya kasus yang tidak selesai atau berlanjut karena masing-masing pihak, terutama keluarga, setuju untuk memilih jalan damai atau cara kekeluargaan.
"Ini yang membuat kasus-kasus seperti ini tidak tuntas," ujarnya. Karena tangan hukum sulit mencapai para pelaku, masyarakat terutama keluarga seharusnya bisa mengantisipasi dengan ikut mengawasi dan mengenali para pelaku.
David Eaton, Atase Hukum FBI di Kedutaan Besar AS untuk Indonesia, menuturkan, khusus untuk di AS pihaknya telah mengenali ciri-ciri umum para pelaku. Biasanya mereka berusia 25-45 tahun, berasal dari kelas menengah ke atas dan atas, pekerja profesional, dan kerap terlibat dalam kegiatan anak-anak, seperti olahraga dan pramuka.
"Rata-rata korbannya anak dan remaja. Perempuan yang jadi korban kerap jatuh cinta kepada pelaku karena melihat ada figur kebapakan. Mereka juga banyak yang berasal dari keluarga yang bermasalah atau setidaknya si anak merasa keluarganya bermasalah," kata Eaton.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.