Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peradilan MA Tak Beres

Kompas.com - 29/11/2012, 05:19 WIB

Jakarta, Kompas - Penangkapan kembali Hillary Chimezie menunjukkan ketidakberesan peradilan di tingkat Mahkamah Agung. Hillary adalah terpidana kasus narkoba asal Nigeria. Ia diduga mengendalikan peredaran narkoba dari LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Pengadilan Negeri Tangerang memvonis mati Hillary yang dikuatkan Pengadilan Tinggi Bandung dan majelis kasasi MA. Namun, vonis itu dianulir majelis hakim peninjauan kembali (PK). Hukuman Hillary pun menjadi 12 tahun penjara. ”Penangkapan Hillary menjadi petunjuk masalah yang disinyalir banyak pihak bahwa ada ketidakberesan dalam peradilan di tingkat MA. Karenanya, makin relevan untuk didalami,” tutur anggota Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki, Rabu (28/11) di Jakarta.

Penangkapan yang menunjukkan kaliber Hillary sebagai pengedar narkoba dinilai menjadi petunjuk signifikan untuk KY.

Dalam permohonan PK, bukti baru yang diajukan Hillary adalah kliping koran yang memberitakan ketidakcermatan polisi dalam menangani perkara-perkara rumit dan berat. Fenomena polisi salah tangkap dinilai kerap terjadi.

Selain itu, Hillary mengaku tidak mengenal pengedar narkoba yang menjadi saksi kasusnya, yaitu Izuchukwu Okoloaja alias Kholisan Nkomo dan Marlena. Padahal, dari Okoloaja ditemukan 4.500 gram lebih heroin.

Cetakan hubungan telepon antara Hillary dan Okoloaja juga dianggap tidak membuktikan hubungan keduanya karena tidak ada telepon sebagai barang bukti. Hillary pun dianggap sebagai pengusaha pabrik sepatu yang mencari sol sepatu untuk diekspor ke negaranya.

Karena itu, anggota majelis hakim PK Timur Manurung menyatakan, pendapat yang berbeda (dissenting opinion) bahwa semestinya Hillary dibebaskan dari dakwaan. Namun, majelis hakim yang dipimpin Imron Anwari dan anggota lainnya, Suwardi, memutus 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan untuk Hillary.

Kasus lain, perkara terpidana pemilik pabrik ekstasi asal Surabaya Hanky Gunawan, majelis hakim yang dipimpin Imron Anwari dengan anggota Achmad Yamanie dan Nyak Pha menganulir hukuman mati Hanky dengan penjara 15 tahun. Bahkan, Yamanie membubuhkan tulisan tangan hukuman 12 tahun alih-alih 15 tahun seperti putusan majelis hakim. Akibatnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tetap mengeksekusi Hanky dengan 12 tahun penjara.

Kejahatan hukum

Terkait putusan-putusan janggal itu, Suparman menilai MA seharusnya tidak berlindung di balik tameng independensi hakim. Putusan memang independensi hakim. Namun, ketika putusan diambil dengan cara tak adil dan jujur, semestinya putusan diperiksa lagi. Karena itu, mulai saat ini seharusnya hakim agung yang memutuskan perkara-perkara janggal tak diperbolehkan lagi menangani perkara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com