SEMARANG, KOMPAS.com - Pakar manajemen Rhenald Kasali menilai kebiasaan menghafal dalam pembelajaran di sekolah cenderung membuat anak bangsa menjadi tak kreatif dan tidak mau berpikir.
"Apa-apa harus dihafalkan, seperti ilmu sejarah, dan sebagainya. Dari mana mau mengajak orang untuk berpikir kalau seperti ini? Semuanya disuruh untuk menghafalkan," katanya di Semarang, Kamis (6/12/2012).
Hal tersebut diungkapkannya di sela "Conference in Business, Accounting, and Management (CBAM) 2012 yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.
Bahkan, kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) tersebut, hingga pelajaran menggambar di taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) pun dikonsep untuk menghafalkan.
"Sekarang coba lihat pelajaran menggambar di TK dan SD, misalnya pemandangan. Semua siswa hampir pasti menggambar pemandangan berupa dua gunung, kemudian di tengahnya matahari," katanya.
Demikian halnya dengan perkuliahan, kata dia, mahasiswa kerap diberikan tugas oleh dosennya untuk meringkas makalah, atau dosen membaca suatu materi kemudian disampaikan kepada mahasiswanya.
Sistem pembelajaran yang dikonsep dengan hafalan semacam itu membuat bangsa tak kreatif, kata dia, apalagi pada pelajaran menggambar yang sangat membutuhkan kreativitas dalam berkarya.
Pada akhirnya, ia mengatakan bahwa orang yang mau berpikir sekarang ini sepertinya hanya orang yang tersesat di jalan, sebab dengan tersesat mereka menjadi berpikir untuk menemukan jalan.
Karena itu, kata Rhenald, pendidikan di Indonesia ke depan harus dirancang untuk membuat peserta didik berpikir secara kreatif, dengan mendorong mereka memutar otak memecahkan suatu persoalan.
Selain itu, kata dia, kebanyakan orang seringkali tak menyadari bahwa perubahan yang berlangsung pelan-pelan (evolusi) lebih berisiko, dibanding perubahan yang berlangsung cepat (revolusi).
Ia meminjam analogi Al Gore mantan Wakil Presiden AS tentang katak yang dimasukkan dalam air yang dipanaskan dan katak yang langsung dimasukkan dalam air mendidih akan bereaksi secara berbeda.
"Kalau katak langsung dimasukkan dalam air mendidih, akan loncat keluar karena menyadari keadaan bahaya. Namun, jika katak dimasukkan air yang pelan-pelan dipanaskan bisa mati kepanasan," katanya.
Sama halnya dengan kondisi di masyarakat sekarang ini, kata dia, misalnya keberadaan pasar-pasar modern yang terus bertambah di tengah pasar tradisional yang tidak disadari dampak negatifnya.
"Pelan-pelan, lama-lama pasar tradisional akan mati. Hidup ini bergantung dari mana melihat, sesuatu yang terjadi tiba-tiba membuat kita bereaksi. Kalau pelan-pelan justru tidak sadar," kata Rhenald.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.