Kode etik yang nantinya akan dijalankan oleh PGRI terhadap semua anggota diharapkan dapat menjaga profesionalisme perilaku guru sebagai anggotanya. Separuh dari problematika pendidikan di Indonesia niscaya akan dapat solusi apabila guru kita benar-benar terjaga profesionalisme perilakunya.
Pendapat Marzuki Alie bahwa organisasi profesi guru cukup satu (PGRI) saja kiranya tepat dalam konteks kode etik. Realitasnya sekarang di Indonesia terdapat puluhan organisasi profesi guru. Di luar PGRI ada Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dan sebagainya.
Idealnya organisasi profesi guru memang cukup satu. Hal ini untuk memudahkan sosialisasi, monitoring, dan evaluasi Kode Etik Guru Indonesia—yang notabene dirumuskan PGRI—dalam pelaksanaannya.
Secara empiris memang ada satu kode etik profesi yang dijalankan oleh banyak organisasi profesi sekaligus, misalnya Kode Etik Advokat Indonesia dijalankan oleh Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), serta Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM).
Apakah IGI, FGII, FSGI, dan organisasi profesi guru lainnya bersedia menjalankan Kode Etik Guru Indonesia yang notabene dibuat oleh PGRI? Di sinilah masalahnya! Sangat sulit meminta organisasi profesi untuk menjalankan kode etik profesi yang dirumuskan oleh organisasi profesi lain yang (kemungkinan) dianggap sebagai saingannya.
Menjaga profesionalisme guru merupakan komitmen kita untuk memajukan pendidikan nasional. Rencana PGRI menjalankan kode etik untuk menjaga profesionalisme perilaku guru sewajarnya diapresiasi.