Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasionalisme di Tapal Batas

Kompas.com - 08/01/2013, 02:22 WIB

Perjalanan Kalfin dalam dunia pendidikan di Papua memang cukup panjang. Dia turut merancang dan membidani lahirnya SMKN 1 Sota Tapal Batas RI-PNG pada 2004. Pengalamannya mengajar selama enam tahun di SMPN 11 Merauke, yang juga berada di perbatasan Merauke-PNG, membuat Kalfin dipercaya menjadi Kepala SMKN 1 Sota sejak 2004 hingga sekarang. SMKN 1 Sota kini memiliki dua jurusan, yakni Agribisnis Ternak Unggas (ATU) dan Agribisnis Pembibitan dan Kultur Jaringan (APK).

Sekolah yang berada di pinggir Taman Nasional Wasur Merauke ini memiliki siswa dari kelas I hingga III sebanyak 116 orang. Dari jumlah itu, 47 di antaranya merupakan siswa asal negara tetangga, PNG. Sebanyak 25 siswa PNG menempuh pendidikan di jurusan APK dan 22 siswa lain di jurusan ATU.

”Sejak menerima pelajar asal PNG pada 2006, SMKN 1 Sota telah meluluskan 20 siswa-siswi asal PNG,” kata Kalfin.

Semua pelajar asal PNG tersebut kini tinggal di asrama sekolah bersama 30 siswa-siswi setempat. Hubungan mereka terjalin baik meski belum lancar berbahasa Indonesia. Selama menempuh studi di SMKN 1 Sota, mereka mendapat bantuan dana pendidikan dari Pemerintah PNG.

”Siswa asal PNG selalu kami ajarkan berbahasa Indonesia agar bisa menyesuaikan diri dengan baik,” kata Kalfin.

Umumnya siswa-siswi PNG yang bersekolah di SMKN 1 Sota berasal dari kampung-kampung di Distrik Morehead yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Merauke. Secara tradisional, mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat suku Marind di Merauke yang tinggal di sekitar daerah perbatasan kedua negara.

”Sekolah di SMKN 1 Sota ini adalah pilihan paling dekat secara geografis dari tempat tinggal mereka,” katanya.

Kalfin tak pernah lelah mengingatkan anak didiknya untuk tekun belajar dan menyelesaikan studi. Seperti saat Kompas berkunjung ke SMKN 1 Sota, ayah dua putri itu sedang mengumpulkan anak didiknya. Dia memberi nasihat agar mereka disiplin bersekolah, tidak putus sekolah, dan tidak tergoda untuk menikah sebelum lulus.

Bagi Kalfin, tantangan terbesar di daerah perbatasan itu adalah meyakinkan orangtua dan siswa untuk sekolah. ”Di kampung, mereka adalah tenaga produktif untuk berburu di hutan menangkap rusa atau mencari ikan arwana. Hasil berburu bisa dijual dan mereka mendapat uang tunai yang cukup besar. Itu godaan bagi anak-anak,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com