Oleh karena itu, kita pun perlu meminta pemerintah mempertimbangkan kembali penambahan jam pelajaran Agama menjadi 5 jam pelajaran. Pada kenyataannya, selain untuk sekadar pengajaran unsur kognitif pendidikan karakter dan moralitas, jam pelajaran yang dialokasikan untuk pelajaran Agama hanya diperlukan untuk mengajarkan aspek-aspek agama yang memang membutuhkan modus kegiatan belajar-mengajar yang bersifat klasikal, sedikit-banyak teoretis, ataupun sebatas materi-materi hafalan tertentu, seperti tata cara ibadah praktis dan hafalan bagian-bagian kitab suci.
Ini pun, lagi-lagi, perlu didukung kesadaran bahwa strategi pengajaran mesti tetap bersifat konkret dan praktis ketimbang teoretis. Demikian pula evaluasinya harus lebih bersifat otentik, yakni benar-benar mengevaluasi penguasaan kompetensi, yang konkret dan praktis itu, ketimbang melalui jenis-jenis evaluasi akademik dan teoretis seperti sekarang.
Mengingat sumber daya mayoritas guru Agama masih perlu banyak peningkatan, baik dalam hal sikap, pengetahuan, maupun keterampilan mengajar—khususnya di daerah-daerah yang jauh dari kota-kota besar dan di sekolah-sekolah dengan sumber daya minim, yang masih banyak terserak di negeri ini—penambahan jam pelajaran Agama dikhawatirkan justru diisi hal-hal yang menjadikan kesadaran keberagamaan siswa melulu bersifat legal-formalistik. Karena itu, cenderung sempit dan intoleran: termasuk perdebatan fikih dan teologis yang eksklusif, mungkin juga materi-materi sejarah Nabi yang berorientasi kisah peperangan, dan sebagainya.
Tidak kalah penting, pendidikan karakter (khususnya pendidikan budi pekerti) dapat diselenggarakan dengan baik melalui pendidikan seni (estetika). Pada kenyataannya, selain sebagai sarana menciptakan kesehatan pikiran dan jiwa, serta mengembangkan daya imajinatif dan kreativitas, pendidikan estetika adalah sarana yang sangat efektif untuk menanamkan karakter dan moralitas. Hal ini dimungkinkan berkat kemampuan pendidikan estetika melahirkan kelembutan hati dan ketenangan jiwa melalui apresiasi terhadap keindahan.
Alhasil, jangan sampai niat baik pengembangan pendidikan keagamaan, termasuk pendidikan karakter dan moralitas, dirancang atas dorongan semangat kesalehan yang salah tempat (misplaced pietism), apalagi salah guna (misused), sehingga malah melahirkan karakter yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan karakter itu sendiri.