Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Uang Kuliah Tunggal

Kompas.com - 20/02/2013, 15:21 WIB

Adilkah UKT?

Data BPS tahun 2012 menunjukkan, jumlah penduduk miskin—seseorang yang pengeluarannya kurang dari Rp 248.707 per bulan—29,1 juta jiwa. Pengeluaran sebesar itu adalah untuk biaya makan, perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Apabila ditambah dengan orang hampir miskin yang pengeluarannya kurang dari 1,2 dari nilai tersebut, jumlahnya lebih dari 55 juta jiwa.

Bandingkan dengan jumlah penduduk Singapura yang hanya 2,5 juta jiwa dan Malaysia 24 juta jiwa. Sementara itu, ada sekitar 50 juta penduduk menengah-atas yang mampu membeli mobil dan barang-barang berharga lainnya. Di antara 50 juta orang tersebut terdapat 40 orang terkaya di Indonesia yang kekayaannya mencapai Rp 870 triliun. Sementara lebih dari 55 juta rakyat harus mengencangkan ikat pinggang untuk bisa bertahan hidup. Biaya pendidikan yang mahal tak masalah bagi golongan kaya untuk bisa menyekolahkan anaknya. Namun, bagaimana dengan golongan ekonomi lemah?

Kondisi perekonomian masyarakat sangat bervariasi. Ada warga miskin, sedang, menengah, kaya, dan sangat kaya. Kemampuan masyarakat untuk membiayai pendidikan anak-anaknya beragam. Seperti yang diterapkan UGM, biaya pendidikan tidak sama untuk seluruh mahasiswa, bergantung pada kemampuan orangtua. Ada beberapa jalur masuk UGM. Orang kaya bisa melalui jalur dengan SPMA tinggi, sedangkan warga lainnya melalui jalur dengan SPMA lebih rendah dan bahkan nol rupiah. Ini dimaksudkan untuk memberikan subsidi silang. Orang kaya menyubsidi orang miskin.

Bagi warga miskin, ada kesempatan mendapatkan beasiswa, antara lain beasiswa Bidik Misi bagi warga miskin berprestasi untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Saat ini, setelah berjalan tiga tahun, jumlah mahasiswa yang mendapat beasiswa ini mencapai 90.000 orang, atau sekitar 30.000 orang per tahun. Program ini sangat bagus meski jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan lebih dari 19 juta warga yang tidak mengenyam pendidikan tinggi.

Namun, bagi warga dengan kondisi perekonomian sedang dan menengah yang tak masuk kriteria untuk mendapat beasiswa, UKT yang nilainya sama untuk semua mahasiswa dirasa tak adil dan memberatkan. Seorang PNS golongan IV dengan gaji dan tunjangan sebesar Rp 5 juta per bulan akan kesulitan untuk menyekolahkan anaknya di PT. Apalagi, kalau jumlah anak yang kuliah lebih dari satu. Gaji Rp 5 juta per bulan habis untuk biaya hidup yang semakin tinggi. Namun, sebagai orangtua mereka punya harapan untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya agar kehidupan mereka bisa lebih baik di kemudian hari meski dengan berbagai cara, termasuk utang sana utang sini. Kalau PNS golongan IV saja kesulitan untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya, bagaimana dengan masyarakat yang pendapatannya lebih rendah, tetapi tidak termasuk miskin?

Pendidikan dan kemiskinan

Data BPS tahun 2011 menunjukkan, jumlah penduduk usia 19-24 tahun (usia seseorang menempuh pendidikan tinggi) sekitar 24 juta jiwa. Sementara itu, angka partisipasi kasar (APK) PT adalah 18 persen. Artinya, penduduk usia tersebut yang mengenyam pendidikan tinggi 4,3 juta. Berarti ada 19,7 juta yang tidak bisa melanjutkan pendidikan di PT, sebagian besar karena tidak mampu membiayai biaya pendidikan tinggi yang sangat mahal.

Padahal, PT punya peran besar dalam pengentasan rakyat miskin dan mengantarkan bangsa menjadi lebih maju dan bermartabat. Banyak contoh dalam kehidupan di lingkungan kita yang menunjukkan keberhasilan seseorang dicapai melalui pendidikan tinggi. Presiden dan Wakil Presiden RI serta Mendikbud bisa sukses karena mengenyam pendidikan di PT. Pada masa itu, biaya pendidikan tinggi tidak semahal saat ini, yang memungkinkan orang tidak mampu bisa kuliah.

Kemiskinan dan tingginya biaya pendidikan menyebabkan tingkat pendidikan warga miskin rendah, prestasi akademik kurang baik, sehingga sulit untuk mendapatkan pekerjaan layak. Banyak di antara mereka yang bekerja sebagai pekerja serabutan, buruh bangunan, pengamen, pedagang asongan, dan bahkan menjadi pengemis di perempatan jalan. Lebih parah lagi, banyaknya penduduk miskin berpendidikan rendah yang tidak punya pekerjaan bisa menyebabkan berbagai masalah sosial, seperti tingginya angka kriminalitas, perampokan, penjambretan, pencurian, peredaran narkoba, prostitusi, teroris, dan tindakan negatif lainnya.

Perlu orang atau institusi PT yang berani berkorban dengan menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Kemudian, kita evaluasi apakah dengan biaya pendidikan murah kualitas pendidikan akan menurun. Memang, ini tantangan untuk berani melawan arus dan membuktikan bahwa kita mampu memberikan yang terbaik bagi kemajuan bangsa.

Pada masa Orde Baru, dengan biaya kuliah terjangkau bisa dihasilkan tokoh-tokoh berkualitas seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Boediono, Mohammad Nuh, dan banyak tokoh lainnya. Apakah pada masa Orde Reformasi yang biaya kuliahnya mahal akan dihasilkan tokoh-tokoh yang lebih hebat dari mereka? Mari kita buktikan sesuai dengan perjalanan waktu.

Bambang Triatmodjo Guru Besar Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com