Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ajarkan Toleransi Lewat Sekolah Gratis

Kompas.com - 21/02/2013, 11:14 WIB

Sekolah dan asrama itu pun dapat dibangun dengan dana sumbangan dari rekan-rekan Julianto dan uang pribadi. Kebetulan tahun 2001-2005 Julianto mendapat bonus 300 persen per tahun. Di perusahaan, Julianto kini menjadi distributor dengan tingkatan tertinggi, Royal Crown.

Saat sekolah itu berhasil dibangun lebih cepat dari yang diimpikan, Julianto merasa takjub. Ia menyebut sekolah yang berawal dari gagasan mustahil itu sebagai karya Tuhan.

Belajar hidup

Sistem pendidikan SMA SPI memakai kurikulum umum. Namun, siswa sebanyak mungkin tak belajar di kelas karena kelas akan memenjarakan imajinasi dan kreativitas siswa. Mereka banyak belajar di kebun atau pendapa di lingkungan sekolah.

Dengan misi menanamkan jiwa toleransi, maka ada lima guru agama berbeda di sini. Namun, dalam setiap perayaan hari besar agama, siswa yang tak merayakan ikut membantu. Mereka dilatih menghargai cara berdoa dan keyakinan pemeluk agama lain.

Keistimewaan lain yang dirasakan siswa adalah kesempatan studi banding ke luar negeri. Siswa diajak Julianto ke Singapura, China, Makau, dan Hongkong. ”Tak semua siswa ikut, hanya 13-17 siswa terpilih.”

Siswa yang mengikuti studi banding disaring dengan kriteria PAKSA (pray/ketakwaan, attitude/sikap, knowledge/pengetahuan, skill/keahlian, dan action/aksi). Siswa tak hanya dituntut pandai berdoa dan pintar, tetapi juga harus dapat mengimplementasikan ketakwaan mereka dalam keseharian dengan bentuk aksi nyata dan sikap yang baik.

Di luar negeri, siswa belajar melihat cara hidup orang lain. Misalnya, kerja keras para pedagang di China atau cara berjalan para pekerja di Singapura yang cepat. Julianto berharap, hal-hal positif itu dapat dicontoh dan kelak siswa pun menularkannya kepada masyarakat.

Setelah lulus, para siswa tak wajib menjadi entrepreneur. Mereka bebas menentukan profesi sesuai bakat, sekolah hanya memancing bakat mereka dan mengarahkan. Namun, banyak siswa yang lalu mengembangkan usaha seperti makanan ringan dan biro perjalanan.

Daya tarik SMA SPI itulah yang membuat banyak orangtua ingin menyekolahkan anaknya di sini. Pada penerimaan siswa baru angkatan pertama, tahun 2007, hanya ada 27 siswa. Kini, kuota ditingkatkan menjadi 40 siswa, tetapi pendaftar mencapai 150 orang. Ia berencana membangun asrama lagi agar jumlah murid bisa ditambah.

Penerimaan siswa juga dibantu jaringan Julianto dalam bisnis MLM yang tersebar di Indonesia. ”Banyak pengusaha yang minta anaknya dimasukkan (SMA SPI), tetapi kami tolak berapa pun mereka akan bayar,” ujar Julianto menegaskan.

Sesuai namanya, sekolah itu bertujuan memberikan semangat dan harapan bagi anak yatim piatu dan tak mampu. SMA SPI juga mematahkan pola lama bahwa hanya anak pandai yang mendapatkan beasiswa. Jika sekolah seperti ini tersedia di banyak daerah, setiap pagi anak-anak akan berseru lantang, ”Selamat Pagi Indonesia!”

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com