Namun, apa yang terjadi di lapangan? Guru masih tetap terpaku pada jawaban dalam teks. Siswa pun masih memiliki kebiasaan yang sama. Jenis pertanyaan yang diajukan hanya berdasar pada teks. Demikian juga dengan jawaban siswa. Siswa juga cenderung mencarinya dalam teks. Pendidikan kita sangat textbooks. Begitu soalnya dialihkan ke kehidupan nyata yang memerlukan analisis dalam pengambilan keputusan, siswa tidak mampu.
CBSA gagal karena kultur di lapangan, di tingkat pendidik dan siswa tidak selaras dengan konsep dasar yang ingin dikembangkan. Siswa diharapkan aktif berpikir, tetapi guru sendiri mengesankan bahwa jawaban siswa harus sama seperti apa yang diinginkan oleh guru, yaitu sebagaimana ada dalam buku teks. Akhirnya, CBSA hanya melahirkan rentetan pembelajaran semu dari tahun ke tahun. Guru ingin setia pada jawaban dalam teks, dan siswa pun menyesuaikan dengan apa yang diminta dan diharapkan guru. CBSA gagal melahirkan individu yang mampu berpikir bebas.
Kebebasan bereksplorasi dan belajar inilah tampaknya yang masih juga ditakutkan oleh para pengambil kebijakan sehingga cara-cara bereksplorasi pun diatur, diarahkan, bahkan dibuatkan tema-temanya. Ini sangat kentara dari gagasan dasar buku babon untuk siswa dan guru. Jika buku babon ini hanya bersifat instruktif, tidak eksploratif, alias tidak memberi ruang bagi penggalian pengalaman secara mandiri maupun kelompok, gagasan besar Kurikulum 2013 hanya akan berhenti pada tataran kebijakan, tetapi tidak terjadi di lapangan.
Perubahan kultural
Tantangan pendidikan ke depan memang tidak ringan. Pembaruan kurikulum merupakan salah satu cara untuk mengantisipasi perubahan zaman tersebut. Namun, pembaruan kurikulum tidak akan efektif ketika dimensi kultural yang memengaruhi cara guru dan siswa berpikir dan melakukan pendidikan juga tidak diubah.
Melihat realitas para pendidik di lapangan sebagai pelaku utama Kurikulum 2013, paradigma perubahan kultural perlu dikembangkan dalam diri pendidik. Perubahan kurikulum sebagus apa pun tidak akan mengubah kultur pendidikan kita yang sentralistis, guru-muridisme, dan murid-manutisme, bila kesiapan tenaga pendidik dan pelaku di lapangan tidak menyentuh sampai membongkar kesadaran budaya sentralisme yang memasung kreativitas guru, menciptakan budaya asal guru senang, dan asal murid naik kelas, meski sesungguhnya mereka tidak layak mendapatkan itu semua.
Mengubah budaya ini merupakan keharusan.
Doni Koesoema A Pemerhati Pendidikan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.