Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TKI yang Menjadi Pengajar Bahasa Korea

Kompas.com - 06/03/2013, 11:13 WIB
Cornelius Helmy Herlambang

Penulis

Perbendaharaan bahasa Koreanya bertambah, sampai Haris berani mengikuti ujian bahasa Korea sebagai syarat perpanjangan setahun bekerja. ”Saya lulus, tetapi teman saya harus pulang karena tidak berhasil.”

Setelah menghabiskan tiga tahun bekerja di Korsel, Haris pulang ke Tasikmalaya. Dengan penghasilan Rp 5 juta per bulan, ia punya cukup tabungan untuk membuka usaha ayam potong. Sayang, usaha itu hanya bertahan tiga tahun. Wabah flu burung mematikan usahanya pada 2005.

Tabungan ludes, ia bekerja di kota Ansan, Korsel. Populasi TKI di Ansan yang relatif besar memberinya ide untuk berorganisasi. Haris ikut mendirikan majelis taklim dan bergabung dalam organisasi TKI, Indonesia Community in Corea (ICC).

”ICC sering menjadi jembatan berbagai permasalahan dan aspirasi TKI di Korea. Pada 2008 ICC berkiprah, dan saya menjadi Presiden ICC dua bulan kemudian,” katanya.

Berbagai masalah yang masuk ICC membuka mata Haris. Ia melihat munculnya kontak fisik yang dialami TKI sering kali dipicu kendala bahasa. Sama seperti dia dulu, banyak TKI tak bisa berbahasa Korea.

”Kami pernah melakukan mediasi, ketika seorang TKI dipukul atasannya. Rupanya si bos kesal karena TKI itu tak paham ucapannya. Difasilitasi Pemkot Ansan, kami mendapat permintaan maaf dan uang ganti rugi,” katanya.

Masalah bahasa juga membuat proses pengiriman uang TKI ke Indonesia terhambat karena kesulitan mengisi formulir. Haris lalu diminta menjadi penerjemah di Industrial Bank of Korea. Ia direkomendasikan Pemkot Ansan membantu proses pengiriman uang para TKI. Ia minta dibuatkan formulir khusus berbahasa Indonesia dan Korea untuk memudahkan TKI ataupun petugas bank setempat.

”Setelah itu, hampir semua bank di Ansan menerapkan hal sama. Kini, semua ATM (anjungan tunai mandiri) Industrial Bank of Korea ada bahasa Indonesia-nya,” kata Haris.

Mengajar

Selepas habis masa kontrak kedua tahun 2011, penghasilan Haris sekitar Rp 8 juta per bulan. Banyak pihak menawari Haris pekerjaan dengan gaji lebih besar, tetapi ia memilih pulang ke kampung halaman. ”Saya punya mimpi lebih besar.”

Di kampung, ia mendirikan tempat belajar bahasa Korea, Minaya Hakwon. Modul ajar dia dapatkan dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Ia tak mengenakan tarif tertentu. ”Ada 21 orang yang belajar, alhamdulillah belum ada uang yang saya terima,” katanya.

Ia pun tak peduli dituduh sebagai calo TKI. Bahkan, pernah ada orangtua yang menawari Haris uang agar anaknya bisa bekerja di Korsel. Haris menolak. ”Tak perlu uang banyak untuk kerja di Korea. Modalnya cukup belajar bahasa Korea.”

Haris juga mengajar bahasa Korea di kelas Kejar Paket B dan C Pusat Kegiatan Belajar Mengajar Al Mubarok. Di sini pesertanya adalah mereka yang putus sekolah dan pekerja anak yang punya semangat belajar tinggi.

Ia berharap kemampuan berbahasa Korea itu bisa menjadi bekal mereka nanti. Mereka tak perlu bekerja sampai Korsel. Alasannya, banyak perusahaan asing di Indonesia yang memerlukan tenaga kerja dengan kemampuan berbahasa Korea.

”Mimpi saya yang paling besar adalah mengajak warga Korea datang ke Indonesia. Banyak potensi usaha dan kekayaan di Indonesia yang belum mereka kenal,” katanya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com