Dengan demikian, sebenarnya pada dirinya sendiri sertifikasi guru melahirkan ketidakadilan. Karena melahirkan ketidakadilan, program sertifikasi guru pun patut dicurigai. Sertifikasi akan memicu berbagai akrobatik, termasuk cara-cara yang tidak jujur guna memperebutkan sertifikasi kompetensi profesional guru yang menjanjikan imbalan besar. Kalau sudah demikian, masyarakat kita akan menjelma menjadi masyarakat berisiko (risk society).
Dalam hemat saya, pemerintah telah salah langkah dengan program sertifikasi itu sendiri. Yang utama dalam perbaikan dan pengembangan mutu pendidikan kita ada pada pembenahan regulasi dan kapasitas pendukung lain, seperti budaya, bukan pada sertifikasi. Kapasitas budaya itu menyangkut mental seseorang yang di dalamnya terkandung cara berpikir dan bertindak.
Terhadap program sertifikasi guru ini, pedagog Foester akan menertawakan kita. Kebijakan pendidikan semacam ini jauh panggang dari api. Kebijakan itu tidak menyentuh inti dari persoalan itu sendiri, tetapi justru memperlebar ruang egoisme.
Foester mengusik nurani kita untuk sedapat mungkin memaksimalkan kinerja dan tanggung jawab. Bahwa mutu pendidikan kita hanya bisa tumbuh dan berkembang kalau ada ketulusan dalam memajukan karakter dengan empat tekanan seperti yang disebutkan itu. Jangan sampai pendidikan hanyalah sebuah dark force yang tidak merangsang perubahan habitus. Karena itu, di tengah hiruk-pikuk dan terpuruknya dunia pendidikan, politik, sosial, dan bidang-bidang kehidupan lain, pendidikan karakter dengan menekankan dimensi etisreligius menjadi sangat relevan untuk diterapkan, apalagi dalam konteks Indonesia.
Dony Kleden Rohaniwan dan Alumnus Magister Antropologi UGM
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.