Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eklektisisme Kurikulum 2013

Kompas.com - 05/04/2013, 02:35 WIB

Filsafat humanisme merupakan gerakan filsafat yang muncul pada abad ke-14. Filsafat ini ingin mengembalikan dimensi manusia ideal yang ada dalam sastra klasik, di mana pembelajaran kebudayaan dan bahasa klasik jadi salah satu sarana untuk sampai pada pembentukan manusia ideal. Filsafat humanisme dalam pendidikan tetap mengutamakan materi, program, guru, dan metode pembelajaran sebagai bagian utama pendidikan.

Adapun filsafat pendidikan progresif merupakan satu pendekatan yang menentang ketiga aliran di atas. Filsafat progresif, yang mulai muncul abad ke-19 dengan tokoh antara lain John Dewey, Ovide Decroly, dan Maria Montessori. Pendekatan ini oleh Dewey disebut sebagai Revolusi Kopernikan dalam pedagogi. Pusat pedagogi tradisional, seperti dalam perenialisme, humanisme, dan esensialisme adalah program studi, guru, disiplin ilmu, dan metode. Dalam pedagogi pendidikan baru ini terjadi perubahan pusat gravitasi, yaitu pada siswa.

Filsafat pendidikan progresif, sering kali disebut juga dengan belajar melalui pengalaman langsung, tidak jarang menuai kritik karena pendekatannya yang terlalu berpusat pada anak sehingga melepaskan konteks hidup anak di masyarakat. Ia juga melulu mengorientasikan pendidikan pada apa yang dibutuhkan anak.

Padahal, masyarakat akan menjadi lebih baik kalau kita juga mempersiapkan peserta didik agar mampu memperbarui tatanan masyarakat yang ada menjadi lebih baik. Inilah garis besar filsafat pendidikan sosial rekonstruksionisme.

Filsafat pendidikan ini ingin mengatakan bahwa masyarakat yang ada sekarang berada dalam keadaan krisis sehingga model pendidikan mestinya melahirkan generasi pembaru sejarah. Suatu generasi yang mampu melahirkan individu guna mengubah tatanan masyarakat dengan pengetahuan, keterampilan, dan kekuatan kehendaknya. Kita tak cukup sekadar membentuk individu jadi seorang yang cerdas dan berakhlak mulia, tetapi juga seorang yang peduli, mau, dan mampu mengubah tatanan masyarakat yang ada sekarang ini menjadi lebih baik, lebih adil, lebih manusiawi, dan layak huni.

Kelemahan eklektisisme

Filsafat eklektik pada hakikatnya adalah ingin memilih yang terbaik dari banyak pendekatan. Istilah ini secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu eklektikos, yang artinya memilih atau menyeleksi. Eklektik adalah menggabungkan hal-hal yang berbeda, yang sebenarnya tidak cocok satu sama lain, jadi satu mosaik tersendiri. Pendekatan tidak melihat bahwa hal-hal yang dipilih itu secara natural, fundamental, cocok dan dapat diintegrasikan, tetapi sekadar menggabung-gabungkan apa yang baik menjadi satu kesatuan. Karena itu, pendekatan eklektik sering kali dianggap sebagai pendekatan yang tidak elegan, gabungan kompleks yang tidak jelas, jauh dari kesederhanaan berpikir secara nalar, serta sering kali dianggap tidak memiliki konsistensi dalam pemikiran.

Inkonsistensi pemikiran dan pemaksaan sebuah ide dalam sebuah sistem besar Kurikulum 2013 adalah sebuah keniscayaan karena pilihan pendesainnya bertumpu pada filsafat eklektik. Karena itu, tidak heran ketika bunyi salah satu butir KD dalam matematika adalah seperti ini: ”Menunjukkan perilaku patuh, tertib, dan mengikuti aturan dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan sesuai secara efektif dengan memerhatikan nilai tempat ratusan, puluhan, dan satuan.” Inilah integrasi antara pendidikan karakter dan matematika!

Kerancuan pemikiran filosofis dalam pendidikan, terutama saat mendesain kurikulum, akan berdampak besar pada proses pembelajaran dan pengajaran, sistem evaluasi, serta tercapai atau tidaknya proses pembelajaran seperti yang dipaparkan dalam KD dan KI. Kita pasti tidak rela bila uang rakyat yang besarnya Rp 2,4 triliun itu dipergunakan untuk sebuah perubahan kurikulum yang digagas dalam ketergesaan, di mana potensi gagalnya lebih besar daripada berhasilnya.

Pilihan filsafat eklektik tak lain adalah wujud kemalasan berpikir, simplifikasi persoalan, dan pilihan jalan pintas paling gampang. Filsafat eklektik dapat jadi jalan pintas rasionalisasi dan menghindar dari tanggung jawab ketika terjadi berbagai macam persoalan; mulai dari pilihan materi pengajaran, metode, sistem evaluasi, bahkan gagal dalam eksekusinya. Sebab, semua hal bisa dijustifikasi dan dirasionalisasi melalui pendekatan eklektik!

Doni Koesoema A Pemerhati Pendidikan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com