Jangan Khawatir, Banyak Jalan Menuju Harvard

Kompas.com - 16/04/2013, 18:51 WIB

Singkat kata si pelamar ini akhirnya berkuliah di Executive MBA Program Walden University. Padahal, universitas ini termasuk abal-abal. Padahal  (lagi), program-program MBA terbaik di Amerika juga memberikan beasiswa, cuma dia tidak tahu saja, karena dia terlalu fokus mencari beasiswa, bukan mencari tahu program-program mana saja yang terbaik baru kemudian mencari tahu cara membiayai kuliah di sana.

Contoh lain, beberapa beasiswa membatasi sekolah yang boleh dilamar, sesuai dengan anggaran beasiswa. Di Amerika Serikat misalnya, banyak sekali universitas swasta yang sangat baik (misalnya universitas-universitas Ivy League) yang biaya kuliahnya lebih mahal daripada universitas negeri. Betapa sedihnya saat seorang penerima beasiswa terpaksa memilih sekolah yang lebih buruk kualitasnya karena himbauan atau bahkan larangan si pemberi beasiswa.

b. Periode aplikasi sebagian beasiswa tidak cocok dengan periode aplikasi sekolah.
Ambil contoh seseorang yang berencana mengambil master di bidang ekonomi di Inggris di tahun 2013. Si pelamar ini fokus untuk mendapatkan beasiswa dulu baru melamar ke sekolah. Beasiswa yang paling umum untuk orang Indonesia adalah Chevening. Aplikasi Chevening untuk tahun 2013 dibuka dari Oktober sampai Desember 2012. Penerima beasiswa diumumkan pada bulan Maret 2013.

Sementara itu, sebagian besar universitas di Inggris memberlakukan sistem rolling admission, artinya aplikasi yang masuk akan langsung diproses dan hasilnya diumumkan segera. Tidak ada batas waktu aplikasi; aplikasi diterima dan diproses sampai seluruh kursi terisi. Semakin lama, kursi yang terisi semakin banyak. Untuk kuliah tahun 2013, kebanyakan universitas mulai menerima aplikasi bulan September 2012. Pada bulan Januari 2013, sebagian besar kursi di sekolah-sekolah terbaik (seperti Oxford, Cambridge, dan London School of Economics) sudah terisi. Jika si pelamar menunggu sampai Chevening mengumumkan hasil beasiswa, baru melamar sekolah, katakanlah paling cepat di bulan April 2013, hampir dapat dipastikan dia tidak akan diterima di sekolah-sekolah terbaik. Bukan karena aplikasinya tidak berkualitas, tapi karena semua kursi sudah terisi. Dia terlambat memasukkan aplikasi.

Katakanlah si pelamar juga tidak bermaksud melamar ke sekolah-sekolah terbaik. Pertama, Chevening mensyaratkan pengalaman kerja minimal dua tahun setelah lulus S1, sedangkan universitas sendiri tidak mensyaratkan hal ini. Kedua, seandainya si pelamar tidak mendapat beasiswa Chevening dan dia tidak jadi melamar ke sekolah karena itu, dia harus membuang waktu minimal satu tahun lagi sampai periode aplikasi beasiswa selanjutnya. Tidak ada jaminan juga tahun depannya dia akan mendapat beasiswa Chevening. Sampai berapa tahun dia harus menunggu sampai bisa mewujudkan mimpinya sekolah di Inggris? Padahal, kalau saja dia langsung  melamar ke beberapa sekolah di Inggris (tanpa menunggu dia dapat beasiswa Chevening atau tidak) kemungkinan besar dia diterima sekolah (karena dia melamar ke beberapa sekolah).

c. Beasiswa mensyaratkan ketentuan yang mungkin tidak sejalan dengan ketentuan sekolah dan minat pelamar.
Lembaga pemberi beasiswa selalu punya misi, misalnya ingin memberdayakan kelompok masyarakat tertentu. Maka wajar jika mereka lebih memprioritaskan, atau bahkan memberi kuota khusus, untuk kelompok tertentu, misalnya wanita, pegawai negeri, orang yang berasal dari Indonesia Timur, atau korban tsunami. Mereka juga memprioritaskan atau hanya memberikan beasiswa untuk bidang tertentu, misalnya studi gender, studi hak azazi manusia, pertanian, atau tata kelola sumber daya air. Tentu itu haknya si pemberi beasiswa mensyaratkan macam-macam.

Tapi bagaimana kalau profil si pelamar dan minatnya tidak cocok dengan ketentuan beasiswa? Ambil contoh seorang pria pegawai bank swasta, asal Jakarta, yang ingin mengambil MBA. Akan sulit baginya mencari beasiswa yang cocok. Apakah dia harus mengubah bidang studi pilihannya demi memperbesar kemungkinan mendapat beasiswa? Atau dia harus menunggu sampai ada beasiswa yang mensyaratkan profil yang cocok?

2. Ada banyak sekali cara untuk membiayai sekolah, bukan hanya beasiswa.
Jadi kalau tidak dengan beasiswa, bagaimana caranya membiayai kuliah di luar negeri? Pertama, saya tidak pernah mengatakan ‘jangan cari beasiswa’. Beasiswa tetap merupakan salah satu sumber pembiayaan kuliah di luar negeri; yang saya katakan adalah fokuslah untuk dapat diterima di sekolah yang baik, dan usahakanlah berbagai sumber pembiayaan, termasuk dengan melamar secara strategis ke beberapa beasiswa.

Mari kita rinci berbagai alternatif pembiayaan untuk kuliah di luar negeri:
1. Beasiswa dari sekolah
Ambil contoh seorang yang ingin kuliah di Columbia University Graduate School of Journalism, Amerika Serikat, salah satu sekolah jurnalistik terbaik di dunia. Saya sama sekali tidak familiar dengan sekolah ini, tapi mampir sebentar saja di website sekolah ini, saya temukan daftar sekitar 100 jenis beasiswa yang ditawarkan sekolah sendiri untuk mahasiswanya.

Beasiswa ini biasanya dikelola langsung oleh sekolah, proses aplikasinya bersamaan dengan proses aplikasi sekolah, dan proses seleksinya dilakukan sendiri oleh sekolah (terpisah dari seleksi penerimaan mahasiswa). Kemungkinan besar, dari 100 beasiswa ini ada beberapa yang cocok dengan profil si pelamar. Yang paling penting adalah si pelamar harus diterima dulu di sekolah tersebut, sehingga dia bisa eligible untuk berbagai beasiswa tersebut.

2. Beasiswa dari luar sekolah
a. Beasiswa dari badan eksternal
Melanjutkan contoh kita, misalkan si pelamar mencari beasiswa lain yang disediakan pihak luar sekolah yang bisa dilamar calon mahasiswa jurnalistik dari Indonesia. Sebentar saja riset di internet, dia menemukan banyak beasiswa yang bisa dia lamar, seperti beasiswa Fulbright, Ford Foundation, USAID, Foreign Press Association, International Center for Journalists, dan lain-lain.

b. Beasiswa dari tempat kerja
Si pelamar pun bisa bernegosiasi ke tempatnya bekerja apakah mungkin ia disponsori untuk kuliah di luar negeri, baik berupa pembayaran uang kuliah, pembayaran seluruh atau sebagian gajinya saat dia sekolah, dan lain-lain.

3. Kerja paruh waktu
Kalau si pelamar diterima sekolah, saat dia mulai sekolah pun banyak cara membiayai kuliahnya, termasuk dengan bekerja paruh waktu. Dia bisa bekerja di sekolahnya sendiri misalnya sebagai teaching fellow, teaching assistant, researcher, assistant librarian, dan support assistant, Dia juga bisa bekerja di luar kampus misalnya sebagai penulis, penerjemah, tutor, researcher, bahkan profesi-profesi blue collar seperti pelayan, penjaga toko, pencuci piring.

4. Tabungan
Tentu saja si pelamar bisa membiayai sebagian biaya kuliahnya menggunakan tabungan pribadinya atau keluarganya.

5. Pinjaman (student loan)
Pelamar pun bisa mengambil pinjaman (student loan) yang periode cicilannya biasanya baru dimulai saat si peminjam sudah lulus dan bekerja, dan baru diharapkan lunas 10-20 tahun kemudian. Tidak semua orang yang kuliah di luar negeri tanpa beasiswa itu kaya raya. Mahasiswa asal Cina, India, dan Amerika Serikat sendiri berani mengambil pinjaman karena mereka tahu penghasilan mereka setelah lulus akan bisa meningkat signifikan. Anehnya, banyak calon mahasiswa Indonesia yang hanya berani menunggu beasiswa, entah sampai kapan, untuk mau kuliah. Padahal, orang-orang yang sama ini berani mengambil pinjaman untuk membeli harta seperti rumah atau mobil yang tidak akan meningkatkan potensi pendapatan mereka.

Halaman:
Baca tentang


    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau