Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Quo Vadis Ujian Nasional

Kompas.com - 24/04/2013, 02:20 WIB

Oleh Hafid Abbas

Dalam beberapa tahun terakhir, penyelenggaraan ujian nasional selalu diwarnai persoalan, mulai dari kebocoran soal dan kunci jawaban, contek massal, hingga penundaan pelaksanaannya di sepertiga wilayah Tanah Air.

Atas realitas ini, Wakil Presiden Boediono meminta pelaksanaan UN dievaluasi kembali untuk melihat baik buruknya bagi pendidikan di Indonesia. Bahkan, Wapres lebih lanjut menekankan, Indonesia perlu mencari ide-ide baru, cara-cara baru, contoh-contoh baru, dan belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih maju (RRI, 20/4/2013).

Beberapa catatan

Sebagai refleksi atas harapan Wapres, betikut ini beberapa catatan penyelenggaraan UN. Pertama, jika UN dimaksudkan untuk menilai hasil belajar siswa terhadap apa yang telah dipelajari dan hasilnya akan dijadikan dasar untuk penentuan kelulusan, kelihatannya UN sudah tak relevan lagi dilaksanakan. Alasannya, sejak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II pada era Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, tingkat kelulusan UN di jenjang SD, SLTP, dan SLTA, baik umum maupun kejuruan, selalu mencapai atau di kisaran 100 persen. Jika sudah jadi tradisi kelulusan seperti itu, tak tepat lagi digunakan dasar penentuan kelulusan.

Sebagai ilustrasi, tingkat kelulusan siswa SD di Jayapura pada 2012 mencapai 100 persen dan SLTP 99,57 persen atau lebih tinggi dibandingkan Yogyakarta yang 99,28 di jenjang SLTP. Jika semuanya sudah pasti lulus, buat apa lagi UN digunakan untuk menentukan kelulusan. Lalu, bagaimana mungkin prestasi Papua lebih tinggi dari Yogyakarta.

Hal ini berbeda dengan masa KIB I 2004-2009, Wapres Jusuf Kalla dengan gigih melaksanakan pengendalian mutu pendidikan dengan pemberlakuan standar UN. Tak ada toleransi kelulusan bagi mereka yang tak melewati standar minimum dari sejumlah mata pelajaran yang diujikan. Alasan Kalla ketika itu sangat sederhana. Jika sekolah selalu meluluskan siswanya 100 persen, siswa merasa tak perlu belajar, guru tak termotivasi mengajar sungguh-sungguh, orangtua tak merasa perlu ikut bertanggung jawab atas mutu pendidikan, dan sebagainya.

Cara ini menurutnya adalah mekanisme peningkatan mutu pendidikan yang paling murah dan paling mudah dilaksanakan. Dengan begitu, pendidikan kita jadi tanggung jawab semua pihak; siswa, masyarakat, dan pemerintah menuju pencapaian mutu pendidikan lebih tinggi.

Kedua, jika UN dimaksudkan sebagai bagian untuk memetakan standar mutu pendidikan sebagaimana diamanatkan Pasal 35 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kelihatannya sudah tak relevan dipertahankan. Pada 21 Maret 2011, Mendikbud Mohammad Nuh dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR melaporkan, 88,8 persen sekolah di Indonesia, mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di bawah standar pelayanan minimal dan 48,89 persen pada posisi standar pelayanan minimal. Hanya 10,15 persen memenuhi standar nasional pendidikan dan 0,65 persen rintisan sekolah bertaraf internasional (Kompas, 23/3/2011).

Jika digunakan logika sederhana, dengan data itu, semestinya hanya sekitar 11 persen siswa yang dapat lulus 100 persen atau di kisaran 100 persen, 49 persen kelulusan di kisaran 55 persen, dan 40 persen lain di bawah batas kelulusan. Jika suatu sekolah berada jauh di bawah standar minimal, misalnya tak punya guru yang memenuhi kualifikasi, tak punya perpustakaan, proses belajar-mengajarnya belum berjalan normal, lalu tiba-tiba siswanya lulus 100 persen, dapat diduga pasti terjadi penyimpangan. Dengan kelulusan di kisaran 100 persen secara nasional dari penyelenggaraan UN, tak dapat lagi dibedakan antara sekolah yang belum memenuhi standar layanan minimal dengan sekolah yang bertaraf internasional. Semua sama-sama berprestasi pada capaian kelulusan sama. Akibatnya, hasil UN tidak dapat lagi digunakan untuk membedakan mana sekolah yang berada di strata bawah yang perlu dibina dan mana yang tidak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com