Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepemimpinan Berbudaya Nalar

Kompas.com - 25/04/2013, 02:08 WIB

Unsur kedua, yang diperlukan setelah hadirnya kejadian luar biasa itu adalah tebersitnya kepemimpinan yang melibatkan. Kepemimpinan ini harus mampu menggugah seluruh masyarakat atas perlunya perubahan dalam pendidikan dan keilmuan. Ini yang disebut kepemimpinan 2.0.

Keyakinan atas perlunya seluruh unsur masyarakat bersatu mengembangkan ilmu pengetahuan harus bertumbuh dari dalam diri masyarakat itu sendiri. Keyakinan ini tak mungkin dan tak boleh diindoktrinasi. Juga perlu, dihindari pemakaian bahasa kekuasaan. Sebaliknya, kepemimpinan harus berbahasa yang melibatkan.

Kekuatan kepemimpinan 2.0 bukan pada kekuasaan, tetapi justru pada pelibatan masyarakat dalam bernalar. Kepemimpinan yang berbahasa mengancam jelas tak akan pernah menganyam nalar. Bahasa ancaman hanya cocok untuk situasi terdesak. Untuk urusan budaya, khususnya pendidikan, bahasa yang digunakan haruslah bernuansa menyuburkan pernalaran.

Tindakan atau ucapan menyangkal pendapat di masyarakat dengan meremehkannya sebagai tidak berarti—karena jumlahnya sedikit atau organisasinya tidak resmi—tentunya bukan ciri kepemimpinan 2.0. Kepemimpinan 2.0 menghargai persilangan pendapat di masyarakat sebagai lahan subur guna menganyam budaya bernalar.

Kepemimpinan 2.0 utamanya melibatkan masyarakat untuk bernalar tentang konsekuensi logis terhadap alasan mengapa perlu ada suatu gerakan pembaruan budaya belajar dan berilmu-pengetahuan. Kepemimpinan 2.0 menomorsatukan keterlibatan seluruh masyarakat. Kecuali itu, masyarakat terdidik dan pendidik tak akan mendukung kebijakan yang tak dimengertinya.

Bencana terburuk sebuah kepemimpinan bukan ketakpatuhan pendidik pada perintah penguasa, tetapi justru kepatuhan atau keterpaksaan menjalankan perintah. Bencana kepemimpinan pendidikan adalah saat pendidik dan masyarakat patuh menjalankan perintah nirnalar. Kepatuhan buta dalam pendidikan merupakan sebuah jalan bebas hambatan menuju bencana peradaban.

Jika suatu kepemimpinan sampai harus mengecap kelompok masyarakat terdidik tertentu sebagai tak mengerti, bukankah itu artinya sebuah kegagalan kepemimpinan? Tentunya ini juga tanda bahwa kepemimpinan 2.0 belum berhasil disemaikan. Ciri kepemimpinan 2.0 adalah menyokong semua unsur masyarakat untuk berpendapat sekaligus bekerja bersama pemimpinnya.

Media

Kejadian luar biasa dan kepemimpinan 2.0 butuh unsur ketiga, yakni media. Dalam kasus Sputnik lima dekade lalu, media cetak dan radio sangat berperan. Media secara berkelanjutan menggelorakan kasmaran berilmu-pengetahuan ke seluruh masyarakat. Saat itu, di New York Times ada wartawan sains, Walter Sullivan, yang mengasuh kolom sains dan gencar mengabarkan perkembangan sains.

Keterlibatan dan peran serta media dalam menggelorakan kasmaran berilmu-pengetahuan di negara ini juga perlu direncanakan bersama. Sejalan dengan itu, pada sisi ilmu pengetahuan, perlu upaya sistematis para akademisi dalam menularkan kegairahannya berilmu-pengetahuan ke masyarakat luas lewat sajian publik dan tulisan populer.

Dengan tampilan serta bahasa yang menarik, sederhana, menggugah, dan tak congkak, gerakan ajakan berilmu-pengetahuan ini akan menguat dan merasuk ke diri para pelajar. Jika ini semua terwujud, ditambah dukungan pemerintah—seperti melalui beasiswa dan hibah penelitian, dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan di republik ini akan bertumbuh dengan subur.

Iwan Pranoto Guru Besar Matematika ITB

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com