Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ujian Nasional untuk Apa?

Kompas.com - 08/05/2013, 02:55 WIB

Di samping santernya informasi tentang kebocoran dan perjokian, sudah menjadi rahasia umum tingkat kelulusan UN dijadikan salah satu indikator kinerja pimpinan daerah. Gubernur, bupati/wali kota, kepala dinas, kepala sekolah, hingga guru akan berusaha sekuat tenaga agar hasil UN di wilayahnya terlihat tinggi. Hal ini memicu terjadinya penyimpangan tujuan, yang berimplikasi pada praktik penyelenggaraan UN yang manipulatif.

Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, segenap pihak yang terkait dengan ”kesuksesan” UN menghalalkan semua cara untuk mendongkrak nilai UN. Dengan demikian, UN bukan lagi ujian bagi siswa, melainkan berubah menjadi tujuan politik, terutama bagi para pejabat daerah, kepala sekolah, dan perwakilan birokrasi pendidikan di daerah.

Ketiga, jika hasil UN dijadikan sebagai instrumen kebijakan untuk pembangunan sektor pendidikan, apakah sudah ada bukti bahwa sekolah yang memiliki rata-rata nilai lebih rendah dari sekolah lain akan mendapat tambahan sumber daya dari pemerintah?

Intervensi dan bantuan pemerintah seperti apa yang diagendakan untuk mendorong peningkatan mutu sekolah yang dipandang tertinggal?

Sudah 10 tahun UN berjalan, tetapi tetap saja profil mutu sekolah tidak mengalami perubahan. Sekolah yang terbelakang tetap terbelakang dan sekolah yang bagus tetap bertahan sebagai sekolah bagus.

Data hasil Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2000 sampai 2008 menunjukkan bahwa tidak ada perubahan profil sebaran asal sekolah calon-calon mahasiswa yang lolos di ujian SPMB tersebut.

Bagaimana sekolah merespons UN? Materi kurikulum yang seharusnya diajarkan dalam waktu tiga tahun ternyata dipadatkan menjadi dua tahun tiga bulan. Praktis, sembilan bulan terakhir semua kegiatan di sekolah hanya dialokasikan untuk mempersiapkan UN. Bahkan, ada sekolah yang hanya mempersiapkan siswanya untuk menghadapi UN.

Sekolah disulap menjadi tempat bimbingan belajar (cram school), yang tidak lagi mengedukasi/mendidik siswa dan mengajarkan pengetahuan, melainkan hanya mengindoktrinasi siswa dengan berbagai tricks dan tips tentang bagaimana menyiasati soal ujian. Apakah ini yang kita sebut pendidikan?

Persoalan yang sangat gamblang di depan mata kita adalah disparitas sumber daya pembelajaran, baik menyangkut mutu dan ketersediaan guru maupun sarana dan prasarana pendidikan yang terasa sangat kentara antara perkotaan dan pedesaan, antara barat dan timur, dan seterusnya.

Harapan kita semua adalah pemerintah lebih serius dan sistematis dalam membangun sektor pendidikan. Semoga!

Chan Basaruddin Guru Besar Ilmu Komputer, Universitas Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com