KOMPAS.com - Sejalan dengan bertumbuhnya jumlah stasiun televisi swasta di Indonesia, maka dunia periklanan televisi pun memiliki kesempatan untuk berkembang. Di antara yang ikut bertumbuh adalah frekuensi penayangan iklan produk ataupun jasa di televisi karena iklan merupakan bagian dari tayangan program televisi secara keseluruhan.
Sepuluh tahun terakhir ini, televisi telah menjadi media paling banyak dilihat orang sehingga menjadi media favorit bagi para pemilik brand perusahaan untuk mengiklankan produk atau perusahaannya. Populernya televisi menjadi media beriklan karena televisi merupakan saluran bagi suatu unit informasi yang akan tersimpan di benak khalayak dan mampu memengaruhi kejadian di sekitar lingkungannya sehingga semakin menyebar luas di benak masyarakat.
Menurut analogi teori meme atau memetics yang pertama ditulis Richard Dawkins, tayangan televisi dianggap powerful dalam mempengaruhi khalayak. Hal itu karena televisi tidak sekedar menyampaikan informasi atau pesan, namun masuk ke dalam sistem konversi utama (yaitu benak, pikiran, atau otak) manusia, yang kemudian direproduksi menjadi sistem nilai, persepsi, preferensi, etika, maupun budaya pada khalayak tersebut (Dawkins: 1976: 56).
Pertarungan informasi iklan di media massa memang sangat ketat. Pada 2003, ada sebanyak 2.500 pesan iklan dalam sehari di semua jenis media (Roman, Maas, Nisenholtz, 2003: 103), walaupun hasil penelitian dalam buku tersebut menunjukkan bahwa banyak pemirsa yang tidak mampu mengingat iklan setelah mereka melihatnya.
Di Indonesia, menurut Tanti Dwihapsari dari Biro Iklan Dwi Sapta, pada 2009; ada 12.300 spot iklan di 11 stasiun televisi Indonesia setiap harinya. Iklan tersebut terdiri dari beragam produk dengan berbagai versi model penayangan.
Perjalanan iklan di Indonesia seiring dengan perkembangan serta perubahan yang terjadi dalam masyarakat, tercermin pada gaya, isi, dan fungsi iklan yang mengalami perubahan. Tampak dalam hasil penelitian, iklanpun bergeser dalam gaya atau tipologi dan isinya. Iklan sekarang lebih menekankan pada penciptaan simbol produk dan citra nilai maknanya bagi konsumen daripada sekedar menawarkan fungsi produk kepada calon konsumen.
Kasiyan mengutip pernyataan Steward Brendfield yang mengatakan bahwa iklan tidak hanya menyajikan sebuah fungsi (use value) tetapi juga menekankan janji atas nilai (Kasiyan, 2008: 153).
Nilai pesimisme
Hasil observasi yang telah dilaksanakan sejak 2009 sampai sekarang (termasuk dalam disertasi Ulani Yunus) menunjukkan bahwa iklan televisi di Indonesia melibatkan banyak anak-anak sebagai model iklan yang dengan terang-terangan "menjajakan" produk-produk komersial. Mulai mie instan sampai pada produk yang pantas untuk orang dewasa, semua melibatkan anak-anak. Bahkan, belakangan ini sebuah provider telepon seluler menggunakan model iklan, seluruhnya oleh anak-anak.
Anak-anak tersebut menceritakan betapa sulitnya hidup menjadi orang dewasa. Ada nilai yang disebarkan dalam iklan tersebut. Nilai pesimisme. Hidup yang penuh dengan kesulitan. Slogan iklannya pun menjerat pikiran pemirsa dengan: "Pake Dulu, Bayar Belakangan".
Kita dapat membayangkan, akan menjadi generasi dengan kualitas seperti apa jika pikiran mereka sudah dijejali hal negatif sejak masa kanak-kanak?
Sungguh sangat disayangkan, dalam rangka menarik perhatian penonton, pemilik brand dengan sengaja menggunakan anak-anak menceritakan kesusahan hidup orang dewasa. Data AGB Nielsen pada 2008 menyebutkan bahwa dalam seminggu anak-anak Indonesia menonton rata-rata 35 sampai 45 jam atau 1.560 sampai 1.820 jam setahun.
Dengan demikian disimpulkan bahwa anak Indonesia dalam sehari menonton televisi sebanyak rata-rata delapan jam. Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa pada umumnya setiap orang yang berusia 20 tahun telah menonton televisi selama 20.000 jam. Jumlah ini ditambah dengan 10.000 jam per dekade setelah usia 20 tahun. Jumlah jam menonton televisi lebih banyak dari pada jam bekerja maupun tidur (AGB Nielsen, 2010).
Melihat fenomena tersebut, berapa banyak anak Indonesia yang setiap hari, otaknya berjam-jam dijejali oleh nilai-nilai yang kurang patut yang disebarkan oleh pesan-pesan iklan yang tidak tepat untuk dikonsumsi mereka. Model iklan adalah figur yang dalam benak penonton untuk mewakili dirinya. Hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa tayangan iklan televisi dianggap sebagai perwakilan dunia nyata (Yunus, 2011: 180).
Fenomena iklan televisi akan selalu berkaitan dengan dimensi budaya, namun dari fungsinya, iklan tetaplah sebagai “corong” dari pemasang iklan. Karena, pada akhirnya iklan televisi yang baik harus mampu membujuk para pemirsanya untuk bertindak sesuai harapan pemasang iklan. Melalui iklan, para produsen ingin memberikan informasi tentang produknya, tetapi tujuan utamanya adalah berupaya mempengaruhi, membujuk, merangsang dan menciptakan kebutuhan dan imaji tertentu terhadap produk yang diiklankannya.
Dalam rangka menjelmakan fungsi tersebutlah, pesan-pesan iklan televisi di Indonesia pun memengaruhi budaya yang ada. Bahkan, nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat sehingga Daniel Lerner mempercayai bahwa media massa memiliki peran dalam perubahan perilaku masyarakat (Dahlan, 2008: 168).
Menyimak hasil-hasil penelitian di atas, saatnya kita merenungkan kembali fungsi televisi bagi “keamanan” pikiran generasi mendatang. Bukan hanya dari program-program yang ditayangkan, namun juga sisipan-sisipan iklan yang menyebarkan budaya tertentu dan mungkin saja dalam jangka panjang akan mengkonstruksi pikiran generasi muda yang cenderung hedonis dan tidak bertanggung jawab dalam kehidupan.
(Penulis adalah dosen program studi Ilmu Komunikasi Bina Nusantara University)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.