Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bambang Rudyanto, Duta Indonesia di "Negeri Sakura"

Kompas.com - 02/08/2013, 13:27 WIB

Ia teringat suratnya kepada Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie yang dia tulis semasa di Belgia. Dalam surat itu, Bambang meminta Habibie membantunya kuliah di luar negeri. Saat mengetahui suratnya tak berbalas, ia pergi ke Jakarta. Ia menumpang tidur di kantor AFS. "Saya tak punya famili di Jakarta."

Esoknya dia nekat ke kantor BPPT. Di pintu masuk, dia dicegat petugas keamanan. Namun, dengan mantap dia menjawab hendak berjumpa Pak Habibie karena ingin sekolah ke luar negeri.

Petugas keamanan yang baik hati itu memberikan informasi soal beasiswa ke luar negeri. "Pengumumannya ditempel di kaca di lantai 12, cobalah naik," ceritanya tentang situasi saat itu.

Bambang melewati sejumlah tahapan tes. Dalam wawancara akhir, dia ditanya mau sekolah di mana dan dijawabnya Belanda. Ia diterima, bukan ke Belanda, melainkan Jepang. Ia kehilangan semangat dan enggan pergi. Namun, ayahnya meminta dia menerima beasiswa itu. Pertimbangannya lebih soal ekonomi karena masih empat adiknya yang menjadi tanggungan.

Jatuh cinta

Begitu tiba di Jepang, Bambang malah jatuh cinta pada bahasa dan kebudayaannya. "Bahasa Jepang seperti lukisan, saya tertarik mempelajarinya."

Sambil kuliah, dia menjadi pencuci piring hingga petugas satpam proyek pembangunan jalan. "Saya ingin bergaul dengan orang Jepang."

Selama delapan tahun dia kuliah dan bekerja di Jepang. Setelah menyelesaikan program doktoral, Bambang kembali ke Indonesia dan bekerja di instansi pemerintah. Namun, dia tidak betah. Suasana kerja dia rasakan kurang mendukung. "Semuanya omong jabatan, administrasi, dan tunjangan."

Ia langsung menerima saat temannya menawarinya bekerja di United Nations Centre for Regional Development (UNCRD) dan berkantor di Jepang. Atas izin atasannya, Bambang kembali ke Jepang dengan status diperbantukan ke UNCRD. Ia lalu bekerja di Yayasan Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri (OECF, kini Badan Kerja Sama Internasional Jepang/JICA).

Setelah itu, dia bekerja sebagai Project Officer Japan Bank for International Cooperation (JBIC) di Indonesia yang membawahkan 15 proyek di Kementerian Pekerjaan Umum. Posisi itu memungkinkannya membatalkan proyek jika dinilai ada korupsi atau tak tepat sasaran.

Suatu saat, Bambang membatalkan proyek penataan pantai di Bali karena berpotensi menghilangkan pemandangan alaminya. "Saya tunda proyek itu," katanya.

Di lain waktu, Bambang membatalkan proyek pembuatan penjernihan air karena terindikasi ada permainan tender. "Ternyata banyak yang marah. Di Indonesia, kalau kita idealis, tidak bisa," keluhnya.

Bambang resah. Ia merasa lebih berguna jika berada di Jepang. "Suara saya minimal didengar, terutama jika bicara soal Indonesia. Kalau di Indonesia, mana orang percaya kemampuan saya. Banyak ilmuwan lulusan Jepang di Indonesia tak bisa berkiprah."

Begitu ada tawaran menjadi peneliti utama bidang bencana di Asian Disaster Reduction Center, Bambang menerimanya. Padahal, saat itu dia digaji 5.000 dollar AS ditambah tunjangan rumah Rp 8 juta per bulan dari JBIC. "Saya tak merasa tenang, apalagi saat melintasi jalanan di Jakarta kerap bertemu peminta-minta, kesenjangan antara kaya-miskin lebar sekali."

Ia kembali ke Jepang dan mengurus bencana di Asia, terutama Indonesia. "Apa yang saya pelajari di Jepang, yang mungkin paling berguna bagi Indonesia, adalah kesenjangan dan peran negara dalam masyarakat."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com