Siti Soraya Cassandra, Pergulatan Batin Demi Anak-anak Kormomolin

Kompas.com - 08/10/2013, 14:06 WIB
Kurnia Sari Aziza

Penulis

KOMPAS.com - Siti Soraya Cassandra adalah salah satu pengajar muda di pesisir Tanimbar, Maluku. Penyandang gelar None Kepulauan Seribu 2010 itu lebih memilih meninggalkan segala pekerjaan dan jabatan yang ia sandang untuk menjadi relawan pengajar dalam Gerakan Indonesia Mengajar.

Sandra, sapaan akrabnya, pernah mewakili Indonesia di ajang World Schools Debating Championship di Kanada. Sebagai lulusan double degree jurusan psikologi Universitas Indonesia (UI) dan School of Psycology University of Queensland Australia, harusnya ia tengah menikmati kiprah dan karirnya di Brisbane, Australia. Namun, semua itu ia tinggalkan demi keinginannya mengajar anak-anak di SDK Lumasebu, Kormomolin, Maluku.

Perempuan kelahiran Jakarta, 31 Juli 1988, ini mengatakan bahwa seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mendapat banyak pengalaman di luar zona nyamannya. Memang, ia mengaku, sempat mengalami pergulatan batin sebelum memutuskan memilih meneruskan pekerjaannya atau menjadi pengajar muda.

"Saya harus berani keluar dari zona nyaman," kata Sandra kepada Kompas.com di Jakarta, Sabtu (12/10/2013).

Ia mengaku, impian menjadi salah satu pengajar muda sudah tertanam dalam pikirannya, jauh sebelum mendaftar untuk bekerja. Saat itu, ia berpikir akan bekerja dulu sekitar 1,5 sampai 2 tahun dan kemudian menjadi Pengajar Muda Indonesia Mengajar.

Ternyata, ada satu syarat yang membuat tekadnya semakin bulat untuk mempercepat keinginannya menjadi pengajar muda, yaitu syarat usia. Karena untuk menjadi Pengajar Muda, batas maksimal calon pengajar harus berusia usia 25 tahun.

"Ok, berarti saya harus daftar sekarang. Saya itu tipenya suka bersungguh-sungguh, optimistis, dan enggak perlu khawatir apapun selama semua itu berdampak baik buat saya," kata Sandra.

Pergolakan batin Sandra pun dimulai. Ia mengaku, posisinya dalam lingkungan pekerjaan saat itu sudah termasuk di level comfort zone. Namun, Sandra merasa, semakin dipikirkan dalam-dalam semua kenyamanan itu justru yang akan menjadi penghambatnya untuk menggapai impian sebagai pengajar muda.

Mengutip dari sebuah buku yang dibacanya, Sandra berujar, "It's time for you to get out, you are not learning anything. Jadi, selain keluar dari zona nyaman, saya juga harus bisa keluar dari kenyamanan fasilitas Ibukota ke suatu daerah yang minim fasilitas," tutur Sandra.

Di desa, tempatnya mengajar, jauh dari fasilitas kenyamanan di kota, mulai dari sinyal telepon atau listrik. Lampu pun masih menggunakan lampu teplok.

Nyatanya, Sandra mengaku, kekurangan-kekurangan itulah yang menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya untuk belajar survive. Di saat itulah ia berusaha tampil optimal, berusaha sekuat tenaga dalam kondisi serba terbatas.

Berani turun langsung

Sandra punya satu alasan kuat, mengapa ia rela keluar dari pekerjaannya dan menjadi Pengajar Muda yang ditempatkan di desa pelosok di Maluku. Alumnus SMA Al-Izhar Pondok Labu ini mengaku memiliki rasa ingin tahu yang tinggi mengenai pelosok-pelosok Tanah Air. Baginya, browsing di internet tidak akan menggambarkan Tanah Air yang sebenarnya hingga memuaskan hatinya untuk memenuhi semua hasrat ingin tahunya tentang Indonesia.

Tekad itu memang kemudian menggiring keberanian Sandra untuk turun langsung dan mendapatkan banyak pengalaman tentang Indonesia sebenarnya, yang jauh dari hiruk-pikuk dan kenyamanan hidup di kota besar.

Menjadi seorang pengajar muda, Sandra bersama teman-teman seiringnya mengajar di Maluku, memiliki empat tugas utama. Ia harus bisa mengembangkan kurikuler dan ekstrakurikuler yang sudah ada di sekolah tempatnya bertugas, mengembangkan masyarakat desa untuk lebih melek pendidikan, serta advokasi pendidikan dalam hubungannya dengan dinas pendidikan setempat.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau