Saat itulah, ia berpikir seharusnya perpustakaan dapat dinikmati semua kalangan dan tidak membutuhkan biaya perawatan. Akhirnya, setelah berpuluh tahun berhasil mengelola taman bacaan, ternyata anggapannya salah. Sama dengan yang lainnya, ia juga membutuhkan biaya untuk perawatan koleksi buku. Cita-cita itu masih masih terpatri kuat di dalam benaknya hingga sekarang.
Buang stereotip
Kian lama, Taman Bacaan Warabal dan perjuangan Kiswanti semakin dikenal masyarakat Lebak. Akhirnya, Kiswanti bertemu dengan salah seorang staf Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud) yang mengajaknya untuk mengumpulkan buku dan juga mengenalkannya kepada kolega lainnya. Sejak itu, Kiswanti sering diajak ke Jakarta untuk mengunjungi pameran buku.
Pergi ke ibu kota kini bukan hal yang mustahil lagi bagi dirinya. Seiring berjalannya waktu, koleksi buku Taman Bacaan Warabal yang pada awalnya berjumlah 250 koleksi, bertambah banyak hingga puluhan ribu koleksi.
Selain anak-anak, kata Kiswanti, ibu-ibu juga gemar datang ke taman bacaannya untuk membaca buku keterampilan. Di taman bacaan itu pula, ibu-ibu dapat mempraktikkan seni keterampilan. Dari keterampilan itu, mereka dapat menghasilkan sebuah keuntungan ekonomis. Misalnya, menjual barang hasil karya keterampilan ke koperasi di kota.
Suatu penghargaan, Kiswanti dapat menarik warga untuk mau membaca buku di taman bacaan miliknya. Ia menceritakan, para warga sekitar awalnya tidak mengetahui kalau membaca adalah sebuah kebutuhan.
"Mereka menganggap bahwa membaca itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang kaya dan mewah. Karena itulah warga miskin tidak dapat membaca," kata Kiswanti.
Kiswanti pun berupaya mendobrak stereotip itu. Ia kini membuktikan bahwa seluruh warga desanya sudah dapat membaca. Buku-buku itu pun disediakan tanpa memandang harta dan benda bagi mereka yang ingin membacanya.
Ia akui, menumbuhkan minat baca pada warga itu membutuhkan waktu hingga sepuluh tahun. Sepuluh tahun berikutnya, masyarakat akan menyadari banyak efek dan manfaat yang didapat dari membaca buku.
"Intinya adalah menikmati semua proses yang ada," kata Kiswanti, yang sejak umur 33 tahun mulai mendirikan Taman Bacaan Warabal tersebut.
Waktu berpuluh-puluh tahun itu pun akhirnya tidak terasa. Tanpa sadar, Kiswanti sudah melewati berbagai liku perjalanan hidupnya yang "unik" ini. Taman Bacaan Warabal yang pada awalnya berdiri hanya dihadiri oleh lima anak, semakin lama semakin bertambah.
Anak-anak yang membaca buku di sana saling menceritakan satu sama lain tentang Taman Bacaan Warabal di sekolah hingga semakin berkembang menjadi sebuah bimbingan belajar semipermanen. Apabila ada anak-anak yang kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumahnya, dapat ditanyakan di Taman Bacaan Warabal.
Selain itu, taman bacaan itu juga diajarkan ilmu-ilmu agama, seperti ilmu Hadis, Al Quran, Fiqih, dan Marawis. Melihat perjuangan panjang yang ditunjukkan Kiswanti, tak sedikit keluarga dan tetangga yang turut mendukung kegiatan edukasinya itu.
Kiswanti mengaku, semangat memberikan pengetahuan lewat taman bacaan ini perlu diperluas. Karena itu, di Hari Aksara Internasional yang dirayakan setiap 8 September, ia berharap tidak sekadar peringatan seremonial. Kiswanti memiliki harapan agar semua unsur turun langsung dan memberantas buta aksara demi memajukan pendidikan.
Tak hanya pemerintah saja yang memiliki peran untuk memajukan pendidikan. Menurut dia, semua warga seharusnya dapat berkontribusi apa pun yang bisa diberikan untuk bangsa dan negaranya dan dengan cara apa saja.
"Saya suka membaca dan ingin menularkan kegiatan itu pada orang lain dengan taman bacaan. Buat saya, itu sudah menjadi kontribusi dalam dunia pendidikan," kata Kiswanti.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.