Mari, Memerdekakan Pendidikan Kita!

Kompas.com - 18/10/2013, 11:16 WIB
Oleh: Ibnu Hamad

KOMPAS.com - Merdeka dapat berarti terbebas dari belenggu. Secara fisik, belenggu itu terlepas dari kaki, tangan, dan pundak, sehingga seseorang mudah bergerak kemana saja.

Secara psikologis, jiwa yang merdeka adalah jiwa yang terbebas dari kekhawatiran, ketakutan, dan kesedihan. Juga dari kemalasan, iri dan dengki, serta kekikiran. Dalam pemikiran, kemerdekaan dicirikan oleh terbebasnya pendapat dari pendapatan.

Pemikir merdeka selalu menyatakan sesuatu yang sesuai dengan hati nuraninya. Orang yang merdeka dan pro kemerdekaan senantiasa berupaya memerdekakan setiap hal yang membelanggu dirinya, lingkungannya, dan bangsanya. Ia tak betah melihat sebuah masalah berputar di situ-situ juga. Ia selalu mencari solusinya; bukan hanya gemar mempermasalahkan masalahnya.

Dunia pendidikan kita, harus diakui, seperti tak henti dari berbagai masalah yang membelenggunya. Dari masalah sarana prasarana, akses, hingga kualitas. Mulai pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi semua terbelenggu masalah. Padahal, sudah banyak terobosan telah dilakukan Kemdikbud untuk mengeluarkan pendidikan dari berbagai belenggu yang membelitnya dan sebelas di antaranya dipaparkan secara singkat di bawah ini;

Kesatu, hingga awal 2011 banyak berita mengenai bangunan SD dan SMP yang rusak berat, bahkan beberapa di antaranya ambruk. Untuk itu, Pemerintah melaksanakanlah Program Penuntasan Rehab Sekolah Rusak Berat mulai tahun 2011.

Tak kurang dari 180.000 ruang kelas yang rusak berat telah direhabilitasi hingga 2012 lalu. Program ini terus dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya.

Kedua, penyaluran dana operasional sekolah (BOS) pendidikan dasar (SD dan SMP) sering terlambat. Karena itulah dikembangkan sistem penyaluran dana BOS yang langsung ke rekening sekolah dengan pemantauan secara on line. Dengan demikian sudah tidak terdengar lagi keluhan penyaluran yang terlambat. Disamping itu besaran biaya per unit cost (per siswa) BOS pun terus ditambah.

Ketiga, disamping dana BOS, untuk para siswa yang tidak mampu disediakan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Dana ini diharapkan bisa mengurangi beban biaya personal siswa dari keluarga yang tidak mampu; di antaranya untuk membeli sepatu, baju seragam, tas dan kebutuhan pribadi siswa lainnya.

Keempat, hingga tahun 2012 angka partisipasi kasar (APK) SMA sederajat rata-rata nasional baru mencapai 70%, angka yang rendah dibandingkan APK SMP sederajat yang telah mencapi rata-rata nasional 97%. Jika ingin mencapai 97% juga dan tanpa terobosan maka baru terealisasi pada tahun 2040.

Akan tetapi, dengan kebijakan Pendidikan Menengah Universal (PMU) yang dirintis pada tahun 2012 dan dijalankan penuh mulai tahun 2013 target 97% itu niscaya tercapai pada tahun 2020. Dalam PMU ini antara lain terdapat program pembangunan ruang kelas baru (RKB) sekolah SMA dan SMK serta pemberian dana BOS Sekolah Menengah (BOS SM).

Kelima, dikeluhkan banyak orang bahwa biaya di perguruan tinggi negeri (PTN) selalu naik setiap tahun. Bahkan biaya untuk program studi tertentu, terutama kedokteran, terkesan "gila-gilaan". Karena itulah, mulai tahun akademik 2013 ditempuh mekanisme uang kuliah tunggal (UKT) untuk para mahasiswa baru PTN. Hal ini bisa dilakukan berkat disediakannya biaya operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN). Jadi, BOS bukan hanya di tingkat SD, SMP, dan SMA, melainkan juga di level PTN.

Keenam, tampaknya seloroh “orang miskin dilarang kuliah” yang sempat populer kini tak berlaku lagi. Kehadiran program Bidik Misi yang dimulai tahun 2010 telah mengantarkan lebih dari 100 ribu siswa dari keluarga miskin bisa kuliah dengan beragam program studi dalam bidang ilmu alam, ilmu sosial, dan humaniora.

Ribuan dari mereka tersebar di 80-an PTN seluruh Indonesia. Selain biaya kuliahnya gratis, peserta Bidik Misi juga memperoleh uang saku setiap bulannya. Beberapa di antara mereka, termasuk yang kuliah di kedokteran, memperoleh IPK 4,0.

Ketujuh, untuk meningkatkan akses ke pendidikan tinggi, juga dilakukan terobosan dengan menegerikan sejumlah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di daerah-daerah terdepan Indonesia, mengembangkan akademi komunitas (AK) dan mendirikan PTN baru. Dari 17 PTS, sudah 12 PTS yang dinegerikan sejak tahun 2010 hingga 2013.

Halaman:
Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau