Kompas.com - 05/09/2015, 08:11 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

KOMPAS.com – Tiap pagi kawasan Jalan Dago Pojok, Bandung, terasa sesak. Meski bukan jalan raya, jalur tersebut menjadi tempat lalu-lalang beragam alat transportasi yang jalan tersendat-sendat lantaran macet.

Memang, sejak dulu Dago Pojok menjadi jalan alternatif para pengendara. Sasaran mereka adalah sekolah dan kantor yang jaraknya lebih cepat ditempuh lewat gang sempit itu.

Nirwan adalah satu dari pengendara motor yang kerap menyambangi jalan tersebut. Dia harus rela berjejal di Dago Pojok untuk mencapai sekolahnya di SMAN 19. Letaknya, kurang lebih 300 meter dari jalan utama.

Secara normal, jauhnya jarak itu hanya memakan waktu dua menit bila berkendara atau lima sampai tujuh menit jika berjalan kaki. Masalahnya, kondisi macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama lagi.

Makin lama volume kendaraan roda dua terus bertambah, terutama karena banyak siswa mengendarai motor. Akibatnya, bukan hanya rugi waktu, tapi lahan parkir juga semakin sempit.

'Saya pernah ada di dua posisi. Sebagai pengendara motor yang tidak menawarkan pada teman yang berjalan kaki, maupun sebagai pejalan kaki yang tidak ditawarkan tumpangan oleh teman pengendara motor," tutur Nirwan, Rabu (02/09/2015).

Tertarik menemukan jalan keluar, Nirwan dan kawannya, Farizd Abdullah Labaik Rachmat berunding melahirkan konsep "Babarengan 19". Konsep ini menekankan pada solusi yang bersifat sosial, sederhana sehingga mudah direalisasikan, dan mampu membawa perubahan positif. Lalu, dengan dukungan sekolah, lahirlah peraturan baru.

Mulai Maret 2015 lalu, siswa bermotor di SMAN 19 diizikan masuk gerbang sekolah bila mereka memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan memberi tumpangan pada seorang temannya. Untuk memuluskan konsep ini, sebuah halte di jalan utama, Jl Ir. H. Juanda dekat Hotel Sheraton Bandung pun dijadikan tempat menunggu untuk mencari motor tumpangan.

Selain mengurangi jumlah kendaraan motor di sekolah, juga memicu siswa untuk saling bertegur sapa. Dampaknya mulai terasa setelah enam bulan peraturan tersebut direalisasi

Dampak lain, lahan parkir SMAN 19 mulai terasa lengang, kondisi macet di Dago Pojok berangsur menurun. Atas prakarsa itu, Nirwan dan Faridz bahkan menyabet penghargaan 'Best of The Best Toyota Eco Youth 9 2015'. Kompetisi tahunan ini bertujuan merangsang generasi muda Indonesia untuk semakin sadar, peduli, dan mau berpikir solutif terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar mereka.

DOK. TMMIN Mulai Maret lalu, siswa bermotor di SMAN 19, Bandung, diizikan masuk gerbang sekolah bila mereka memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan memberi tumpangan pada seorang temannya.

Mengurai kemacetan

Konsep serupa sebenarnya telah dilakoni oleh komunitas Nebengers di Ibukota. Beberapa orang pemuda menggagasnya dengan pertimbangan kondisi lalu-lintas Jakarta.

Dilansir dari KOMPAS.com, prediksi Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) memaparkan bahwa kerugian ekonomi akibat kemacetan di DKI Jakarta periode 2002-2020 akan mencapai Rp 65 triliun. Angka kerugian itu didapat dengan cara menghitung kerugian karena aktivitas ekonomi yang terhambat atau bahkan lumpuh akibat kemacetan di Jakarta (Baca: Macet Bawa Kerugian Rp 65 Triliun).

Cara kerja komunitas ini ialah berbagi tumpangan dengan anggota komunitas saat memiliki rute perjalanan searah. Calon penumpang dan pemberi tumpangan harus melakukan registrasi sebelum berinteraksi.

Lewat komunitas itu, mereka diwadahi untuk berbagi informasi siapa saja yang butuh tumpangan serta pengendara baik hati yang rela memberi tumpangan. Imbalannya sukarela, dapat berupa bensin, uang tol atau bergantian mengemudi.

Gerakan yang digagas ini menghasilkan tiga dampak positif langsung. Secara sosial, meningkatkan interaksi antar masyarakat. Secara lingkungan, dapat mengurangi polusi dan tingkat kemacetan. Sedangkan secara ekonomi, gerakan tersebut dapat menekan pengeluaran masyarakat.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau