KOMPAS.com – Banyak potensi luar biasa dimiliki para lulusan sekolah menengah atas dan kejuruan (SMA-SMK) di Indonesia. Mereka mampu membuktikan kualitasnya di ajang kompetisi internasional.
Sebut saja Arfian Fuadi dan Arie Kurniawan. Kakak beradik lulusan SMA Negeri 7 Semarang dan SMK Negeri 2 Salatiga, Jawa Tengah, ini berhasil menjadi juara dalam "3D Printing Challenge" yang diadakan General Electric pada 2014.
Arfian dan Arie mampu merancang jet engine bracket, salah satu komponen untuk mengangkat mesin pesawat terbang paling ringan di dunia. Desain duo itu berhasil menyisihkan 700 karya dari 50 negara lainnya.
Berbekal ijazah sekolah menengah, Arfian dan Arie akhirnya berdiri di posisi teratas. Mereka mengalahkan peserta bergelar Ph D di posisi kedua dan insinyur lulusan Oxford University di posisi ketiga.
Adu skill
Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa pendidikan di SMK masih minim materi praktik akibat keterbatasan fasilitas. Hal itu dialami Arie yang semasa sekolah mengambil jurusan otomotif.
Menurut dia, banyak pelajaran disampaikan secara teoritis tanpa praktik sehingga siswa hanya mengandalkan imajinasi. (Kompas.com, Senin (28/7/2014). Karena itu, beragam kontes keterampilan sebenarnya perlu diekspos kepada siswa-siswa SMK demi memperpendek jarak antara praktik dan teori.
Salah satu ajang yang disediakan pemerintah adalah Lomba Kompetensi Siwa (LKS), mulai dari tingkat daerah, nasional, hingga kawasan ASEAN. Kompetisi tersebut bisa menjadi salah satu tiket menuju ajang tingkat dunia, yaitu WorldSkills Competition (WSC).
Kompetisi dua tahunan itu dirancang khusus untuk mengadu keterampilan kejuruan antar-pemuda usia 17-22 tahun. Bidang keterampilan yang dilombakan pun beragam, mulai dari kesenian dan fashion, teknologi telekomunikasi dan informasi, hingga teknik manufaktur.
"Sejak 2005, pertama kali kami ikut itu baru 37 negara. Pada 2013 sebanyak 54 negara, dan tahun 2015 ini ada 75 negara. Persaingan semakin ketat," ujar Hamid Muhammad, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saat melepas 32 peserta untuk mewakili Indonesia ke Sao Paulo, Brazil, dalam WSC 2015 di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Selasa (4/8/2015).
Tahun ini Indonesia berhasil membawa pulang dua medali kemenangan. Hari Sunarto menyumbang satu medali perak untuk kategori skill "Plastic Die Engineering". Adapun satu medali perunggu diraih Rifki Yanto pada kategori "Prototype Modelling".
Perlu diasah
Kemenangan tersebut bukan tanpa perjuangan. Kedua karyawan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) itu telah digembleng selama kurang lebih 18 bulan sebelum kompetisi dimulai.
"Rata-rata, level anak SMK kita masih jauh untuk masuk ke Worldskills, jauh sekali. Itu baru skill, belum lagi fisik dan mental. Itulah gunanya kita gembleng dulu," kata Agung Satriawan, pembimbing atlet WSC di Toyota Indonesia Institute Division (TIIN).
Khusus dua kategori di atas, Kemendikbud sengaja melakukan kerja sama dengan TMMIN dalam proses pemilihan dan pelatihan atlet. Hal itu diperlukan karena TMMIN merupakan satu-satunya industri yang memiliki teknologi pelatihan Plastic Die Engineering dan Prototype Modelling.
"Industri swasta lain juga ikut berpartisipasi, tapi untuk kategori lain," kata Mo Daniel Setiawan, Manager TIIN.
Motivasi awal TMMIN berpartisipasi dalam WSC adalah untuk menguji kemampuan dalam mengembangkan sumber daya manusia. Lebih jauh, menurut Bob Azam, Direktur Administrasi TMMIN, poin yang sebenarnya dikompetisikan bagi TMMIN dalam WSC adalah sistem manajemen di balik para atlet ini.
"Kami sebagai perusahaan yang memang fokus strateginya di pengembangan SDM harus terus menguji kemampuan dalam mengembangkan potensi SDM. Tidak hanya sesama entitas perusahaan, tapi juga (dalam skala) negara," ujar Bob.
Meski begitu, mempersiapkan atlet untuk bertanding secara profesional di tingkat dunia tidaklah mudah. Terlebih lagi WSC memiliki batasan umur sehingga atlet harus diseleksi dari karyawan baru yang tentu pengalaman praktiknya belum mencukupi.
"Kita minta mereka ulang terus (pelatihannya). Model yang sama kita modifikasi terus sampai sesusah mungkin. (Satu model) bisa sampai 100 kali bikin, sampai ukurannya pas. Kita juga tetap menggunakan waktu yang sama seperti di Worldskills, yaitu 4 hari (per satu kali praktik)," kata Agung.
Tak hanya keterampilan yang terus diasah, karena kondisi fisik pun masuk agenda latihan. Setiap hari, para atlet ini diwajibkan olahraga pagi selama kurang lebih 30 menit.
"Karena untuk menjadi atlet (WSC) dibutuhkan fisik yang kuat. Pertandingan itu (memakan waktu) empat hari berturut-turut, total ada sekitar 20 jam kerja," katanya.
Namun, pada akhirnya semua jerih payah itu terbayar. Rifki dan Hari pulang membawa harum nama bangsa di dunia internasional. Mereka pun ingin mendorong anak muda lain percaya diri menggantungkan cita-cita setinggi-tingginya.
"Jika kita punya mimpi, maka kejar sampai dapat. Kalau ada niat, Allah pasti kasih jalan. Saya juga dulu ada saja kendalanya. Tapi kalau kita tetap melangkah, insyallah jalan akan selalu ada," kata Hari.
Mengamini Hari, Rifki juga menyemangati agar anak muda tidak mudah patah arang dan tetap optimis.
"Indonesia di mata negara lain itu negara yang kuat, bukan negara yang bisa diremehkan, yang penting yakin pada diri sendiri," ucap Rifki.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.