Kreatif, Pelajar SMA Ini Membuat Genteng dari Sampah!

Kompas.com - 05/01/2016, 07:49 WIB
Adhis Anggiany Putri S

Penulis


KOMPAS.com
 — Pantai Sanur, Denpasar, Bali, termasuk destinasi wisata paling digemari turis karena keindahan alamnya. Tak hanya elok, Bali pun menyuguhkan beragam pengalaman budaya dalam tradisi yang telah melekat erat selama berabad-abad.

Namun, ada sisi lain yang ditangkap I Made Bagus Wisnu Wisnawa dan I Wayan Narayana Putra saat menyusuri area Sanur. Kedua siswa SMA Negeri 6 Denpasar ini melihat tumpukan sampah mengancam keindahan lingkungan, termasuk Pantai Sanur yang letaknya sekitar 2 kilometer dari sekolah mereka.

"Setiap beberapa periode itu kan kami ada upacara adat, sembahyang. Nah, sampah (dari upacara) ini lama-lama menumpuk. Got-got sering kali penuh sehingga memicu banjir dan membuat kotor," kata Wisnu saat dihubungi Kompas.com, Rabu (30/12/2015).

Tak berhenti di situ. Permasalahan ini mereka utarakan kepada Guru Fisika di sekolah, I Ketut Sinah, untuk mencari solusi alternatif.

Kemudian, memadukan kreativitas dan sains, sampah-sampah organik tadi diubah menjadi bahan bangunan berupa genteng biokomposit. Bahan-bahan genteng ini diambil dari sampah daun janur, enau, pisang, dan pandan.

Proses pembuatan genteng dimulai dari memilah sampah, mengeringkan, lalu mengetes kandungannya. Tahapan ini sangat penting karena bahan-bahan tersebut harus bisa melekat dengan baik.

"Prosesnya memakan waktu sekitar 3 bulan. Semua komposisi kami coba sampai menemukan yang pas," kata Wisnu.

Namun, perjalanan mereka tak selalu mulus. Banyak tantangan dihadapi, salah satunya cuaca yang kurang mendukung.

Wisnu bercerita, percobaan dilakukan pada bulan-bulan rawan hujan, sekitar Januari hingga April. Hal ini membuat proses pengeringan menjadi sulit.

"Tetapi, ternyata kami bisa mengatasi hal itu," ujarnya.

Keunggulan genteng karya mereka, selain ramah lingkungan, adalah bobotnya lebih ringan, yakni hanya 200 gram. Genteng itu lebih ringan dibandingkan material berbahan tanah liat yang beratnya mencapai 500 gram. Berdasarkan uji ketahanan, genteng biokomposit mereka pun terbilang unggul.

"Dari tes yang dilakukan, genteng kami baru pecah saat diberi beban lebih dari 30 kilogram. Kalau dari tanah liat, 20 kilogram saja sudah pecah," ucap Ketut, guru Fisika yang juga membimbing penelitian Wisnu dan Narayana.

Bahkan, karya mereka terbukti mampu menjuarai kompetisi Toyota Eco Youth (TEY) 2015 untuk kategori sains. TEY merupakan kompetisi yang dirancang khusus bagi pelajar sekolah menengah untuk membangun cara berpikir dan berkontribusi nyata terhadap perbaikan lingkungan di sekitar sekolah.

"Kalau kami amati dari beberapa kali penyelenggaraan program TEY ini, partisipasinya semakin meningkat. Artinya, mereka semakin terlibat. Kemudian, tiap sekolah juga melibatkan siswanya, termasuk guru-gurunya untuk semakin peduli dan sadar untuk mencari solusi permasalahan lingkungan sekitar," kata Direktur Corporate and External Affair Directorate PT TMMIN I Made Tangkas kepada Kompas.com, Rabu (2/9/2015).

Saat ini, pengujian tahap akhir sedang dilakukan untuk menguji ketahanan genteng biokomposit terhadap cuaca. Periode pengujian dilakukan bertahap dengan jangka waktu 6 bulan hingga 5 tahun.

"Kami lihat, tahan atau enggak. Rencananya, setelah itu baru akan kami patenkan. Nah, karena nanti kami sudah lulus, yang akan meneruskan adik-adik kelas kami," ucap Wisnu.

Semakin peka

Saat ini penelitian berbasis kepedulian pada lingkungan semakin digandrungi anak-anak muda. Kreativitas dan semangat tinggi mereka tumpahkan dalam karya-karya yang ternyata bisa memberi solusi bagi permasalahan sekitar.

Hal itu seperti cerita lain yang datang dari Surakarta, Jawa Tengah. Loca Cada Lora dan Galih Ramadhan menemukan cara menyaring logam yang terkandung dalam air limbah menggunakan abu vulkanik.

Awalnya, siswa SMA Negeri 1 Surakarta ini penasaran melihat saluran pembuangan yang airnya terlihat bersih dan banyak ditemukan sisa abu vulkanik.

"Kami penasaran dan mencari tahu fungsi dan kegunaan abu vulkanik," ucap Galih seperti dikutip Kompas Cetak, Senin (18/5/2015).

Dari penelitian tersebut, dua ilmuwan muda itu meraih grand awards dalam ajang Intel International Science and Engineering Fair (Intel ISEF) 2015 yang digelar di Pittsburgh, AS.

Sementara itu, dari Pontianak, Kalimantan Barat, Hansen Hartono dan Shinta Dewi mengembangkan penelitian untuk menyaring air di Sungai Mandor yang mengandung kadar merkuri tinggi. Padahal, air sungai tersebut merupakan sumber air penopang kehidupan masyarakat sekitar.

"Kami mencari cara paling efektif dan murah untuk menyaring logam besi dan merkuri di sungai yang tercemar," tutur Hansen.

Berdasarkan penelitian tersebut, siswa SMA Katolik Gembala Baik ini menemukan bahwa ampas tebu bisa dimanfaatkan untuk menyerap logam besi dan merkuri yang terkandung di dalam air.

Tak ayal, karya mereka pun turut meraih special awards di ajang Intel ISEF. Rentetan prestasi di atas membuktikan bahwa Indonesia mempunyai anak-anak muda luar biasa. Mereka mau menggunakan ilmu pengetahuannya untuk mencari solusi dari permasalahan yang terjadi di sekitar.

Namun begitu, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, tugas anak-anak muda tersebut belum selesai. Mereka harus membagikan pengalamannya kepada semua orang, terutama teman-teman di sekolah, sebagai inspirasi.

"Jangan berhenti sampai di sini, anak-anak Indonesia harus terus bermimpi untuk masa depan yang lebih baik," ujar Anies saat menyambut kedatangan delegasi Indonesia dari Pittsburgh, AS, di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Senin (18/5/2015).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau