Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/02/2016, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Emak dulu ingin anak-anaknya sekolah. Dia sendiri tak pernah sekolah. Jadi, ia memiliki semacam “dendam”, bahwa anak-anaknya harus sekolah.

Tak ada sekolah di kampung kami saat anak laki-laki Emak memasuki usia sekolah. Emak memutuskan untuk mengirim anaknya ke kampung lain, jaraknya 3 hari berkayuh sampan dari kampung kami. Emak rela berkayuh 3 hari untuk sekedar mengirim anaknya masuk SD.

Kelak kampung kami punya sekolah. Orang-orang bergotong royong membangun sekolah. Ayah termasuk salah satu yang memotori pembangunan sekolah ini. Guru didatangkan, digaji dengan sumbangan yang dikumpulkan sekadarnya dari orang-orang kampung. Guru ini kelak menjadi menantu Ayah.

Saat anaknya tamat SD, Emak mengirim anaknya sekolah ke kota. Tindakan itu termasuk yang pertama kali terjadi dalam sejarah kampung kami. Anak-anak Emak yang lain mendapat giliran. Begitu tamat SD, dikirim melanjutkan sekolah ke kota.

Langkah Emak ini kemudian diikuti banyak orang kampung. Mereka mengirim anak-anaknya sekolah ke kota setamat mereka dari SD. Banyak dari mereka yang berhasil. Macam-macam jadinya setelah mereka sekolah ke kota.

Ada yang jadi guru, pegawai pemerintah, karyawan swasta, atau jadi pengusaha. Banyak dari mereka yang berhasil membebaskan diri dan orang tua dari belitan kemiskinan.

Tapi tak semua berhasil. Ada yang putus sekolah. Ada yang hanya menghamburkan harta orang tuanya yang tak seberapa di kota. Mereka hanya mendapat gaya hidup orang kota secara semu, gagal memanfaatkan kota sebagai tempat belajar.

Sebagian kembali ke kampung dengan tangan hampa. Ada pula yang bertahan di kota, hidup sebagai orang pinggiran.

Apa yang membedakan semua ini? Pola pikir! Waktu mengirim kami sekolah, Emak tak pernah mengajarkan bahwa sekolah akan mengubah segalanya.

“Bukan sekolah yang akan mengubah kau, tapi tanganmu!” itu pesan Emak selalu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+