“Bukan, Mak. Aku nak sekolah.”
“Ai, jauh benar?”
“Iya, Mak. Kalau dah tamat SD ni, aku nak nyambung ke Pontianak. Lepas itu, aku nak nyambung ke Jakarta. Lalu aku nak nyambung ke Mekah.”
“Waaaah, bagus itu. Rajin-rajinlah belajar.”
Pontianak, Jakarta, dan Mekah, adalah tempat-tempat yang waktu itu saya ketahui. Pontianak saya pernah pergi diajak Emak. Jakarta dan Mekah hanya saya dengar ceritanya dari orang-orang yang pulang haji. Hanya orang-orang itu yang pernah pergi jauh dari kampung kami.
Emak waktu itu tak mengecilkan mimpi saya. Ia besarkan. Meski Emak tak tahu Jakarta itu tempat macam apa. Mekah pun dia cuma dengar dari cerita orang.
Untuk sekedar pergi ke Pontianak saja, kami harus berkayuh sampan 2 jam ke kota kecamatan. Lalu disambung lagi dengan naik kapal sehari penuh. Subuh kita turun dari rumah, nanti lepas magrib baru sampai.
Jakarta dan Mekah itu terlalu jauh untuk dibayangkan sebagai tempat sekolah.
Kala itu Emak pun tak tahu macam mana caranya nanti aku akan dapat ongkos untuk pergi sekolah itu. Karena kami miskin. Tapi sekali lagi, Emak tak membatasi mimpi saya.
Tapi begitulah. Mimpi itu jadi nyata. Meski tak ke Mekah, saya pergi sekolah sampai jauh. Ke tempat yang dulu tak pernah saya dan Emak pikirkan.
Maka, kepada anak-anak muda, jangan batasi mimpimu. Tempat kakimu berpijak sekarang tidak mengikat dan membatasimu untuk melangkah sejuta atau semilyar langkah dari situ.
Kemiskinanmu sekarang bukanlah takdir abadi bagimu. Kau bisa segera meninggalkannya.
Saya percaya satu hal. “Kalau kau bermimpi menjadi sesuatu, maka Tuhan langsung buatkan jalan yang menghubungkan dirimu dengan tujuanmu itu. Kau tak perlu bersusah-susah membuat jalan itu. Kau cuma perlu mencari, dan menemukannya.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.