Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Emakku Bukan Kartini

Kompas.com - 22/04/2016, 11:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

***

Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu cara mengubah nasibnya.

“Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak seorangpun bisa menghalangi anak-anakku.” begitu tekadnya.

Saat abangku yang tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.

Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.

Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah nasib banyak orang di kampung kami.

***

Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan berkeliling dari rumah ke rumah.

Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah tinggi.

Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia makan, mencukupi kebutuhannya.

Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, “Kau bekerjalah di sini, di dekat Emak.” Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin sekolah.

Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di sisinya. “Sudah cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana.”

Aku bujuk Emak. “Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa sekolah. Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar untuk sekolah. Malah saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya tidak sekolah lagi.” Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi.

Aku berangkat sekolah ke Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak pingsan di kamarku saat membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya.

Tapi Emak tak meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga dapat kesempatan melanjutkan kuliah. Pernah suatu saat hanya ada abangku yang tertua di sisi Emak. Anak laki-lakinya yang lain pergi jauh.

Sedihkah Emak? “Sepi”, katanya. “tapi sepi itu bisa Emak obati dengan rasa bangga.”

***

Emakku bukan Kartini. Ia tak menulis surat, yang membuat orang lain bergerak. Ia bahkan tak bisa menulis. Tapi dengan tangannya, dia mengubah nasibnya. Nasib kami.

Tulisan Hasanudin Abdurakhman lain bisa dibaca juga di http://abdurakhman.com

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com