Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chappy Hakim
KSAU 2002-2005

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Kikuk Menikmati Musik Klasik di Jakarta

Kompas.com - 03/05/2016, 16:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho

Sebuah pertunjukan yang memang jarang sekali dipagelarkan di negeri ini. Sayang sekali gedung yang indah tatanan interiornya itu hanya diisi lebih kurang 50% saja oleh penonton yang diundang malam itu.

Pada sisi lain, pertunjukan musik klasik harus diakui belum banyak penggemarnya di tanah air. Sebagian besar memang masih menyenangi musik-musik pop atau jazz dan rock. Minat dan juga terutama para penonton kita memang belum familiar dengan tata krama pertunjukan musik klasik.

Tata krama di sini dimaksudkan adalah, masih dirasa terlalu banyak aturan yang sangat mengikat dalam menikmati pagelaran sebuah sajian musik klasik. Penonton kita biasa bebas sebebasnya, sehingga bila terlalu banyak aturan memang langsung akan menghilangkan selera untuk menonton.

Belum lagi pada umumnya lagu-lagu klasik agak sulit untuk bisa dinikmati, karena memang jarang sekali diperdengarkan di tempat umum. Demikianlah juga dengan apa yang terjadi malam itu, karena pada pendahuluan acara sudah “diancam” berulang-ulang oleh panitia dengan hal-hal yang dilarang.

Dilarang memotret, dilarang berbicara satu dengan lainnya, dilarang menghidupkan handphone, dilarang berkeliaran selama pertunjukan berlangsung dan lain lain dan lain lain.

Kesemua itu membuat kaku penonton nyaris kelihatan seperti orang yang sedang di setrap atau dihukum. Kekakuan yang terjadi adalah, karena memang sebagian besar penonton kayaknya belum terbiasa nonton pagelaran musik dengan 1001 macam aturan. Maka, selesai sebuah lagu dimainkan, para penonton yang kagum dengan permainan menjadi ragu-ragu untuk bertepuk tangan.

Pertunjukan musik klasik di Indonesia belum menjadi tontonan orang banyak. Tontonan musik klasik masih sangat terbatas bagi sebagian kecil saja masyarakat penggemar musik klasik yang memang sudah siap mental untuk menjadi penonton yang patuh dan taat, karena sudah tahu pada standar aturan yang berlaku. Aturan yang bahkan belum banyak dipahami oleh para penggemar musik kebanyakan.

 

Sunyi senyap

Gedung pertunjukan malam itu, saat permainan orchestra akan berlangsung benar-benar menjadi sunyi senyap seperti tidak ada orang satupun. Betul sekali kesunyian yang muncul itu benar-benar sebagai kata pepatah kuno yang mengatakan bahkan bila jarum jatuhpun akan terdengar.

Malam itu memang tidak ada jarum yang jatuh, akan tetapi suara dari isi perut saya yang agak kembung berbunyi “keriyuk-keriyuk” menjadi terasa sangat jelas terdengar. Pertunjukan dimulai jam 17.00 hingga 19.00, saat yang benar-benar tepat bagi lambung perut dari seorang yang tidak muda lagi menuntut diisi pasca makan siang yang agak terlalu pagi.

Saya sangat amat khawatir apakah penonton di kiri kanan saya juga dapat mendengar suara isi perut saya. Beruntung, tidak berapa lama kemudian pertunjukanpun dimulai, dan suara yang keluar dari perut saya “keriyuk-keriyuk” lenyap tertelan suara instrument musik China Philharmonic Orchestra ! Alhamdulilah.

Sebenarnya kekakuan dan ketidaknyamanan dalam menonton pertunjukan musik klasik, tidak hanya dirasakan para penggemar musik di Indonesia akan tetapi juga di negara barat. Bahkan sudah terjadi “perubahan” yang cukup radikal dalam tatanan etika tata cara menikmati musik klasik.

Beberapa tahun lalu seorang konduktor sebuah kumpulan musik klasik “Johann Strauss Orchestra” bernama Andre Leon Marie Nicolas Rieu, tenar dengan nama panggilannya Andre Rieu berkebangsaan Belanda mengubah drastis prosedur tata cara menikmati musik klasik.

Dia seorang pemain biola handal merangkap konduktor sekaligus pembawa acara dalam setiap pementasan musik klasik terutama lagu-lagu karya Johann Strauss yang berirama “waltz” dan irama “gembira”, justru mengajak penontonnya untuk turun melantai berdansa ria dan bertepuk tangan meriah sepanjang lagu-lagu yang tengah dimainkannya.

Dengan demikian dia banyak digemari para penggemar musik klasik berirama waltz dan irama gembira lainnya. Di samping memperoleh sambutan luar biasa dari para penggemar musik klasik aliran baru, tetap ada juga kelompok yang mengecamnya, sebagai perusak keangkeran pakemnya perhelatan musik klasik yang nyaris sudah menjadi sakral itu.

Mereka menyebut Andre Rieu sebagai “The Rock Star” yang merusak tatanan pakemnya petunjukan musik klasik. Saya percaya, bila ada sponsor yang berani mendatangkan Andre Rieu ke Jakarta, maka dalam sekejap akan terjadi perubahan mendasar dari banyak orang Indonesia dalam merespon kiprahnya musik klasik sebagai musiknya orang banyak.

Musik klasik tidak lagi menjadi suguhan yang sangat “eksklusif” bagi penggemar musik sekolahan yang kerap disebut juga sebagai musiknya kelompok orang “gedongan” seperti sekarang ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com