Dua minggu lalu, saya baru kesampaian nonton film Ada Apa Dengan Cinta 2, setelah dua juta orang lebih dulu menontonnya.
Alhamdulillah, kali ini saya bisa menonton bersama istri, berbeda dengan ketika AADC pertama rilis, 14 tahun lalu. Saat AADC, saya menontonnya bersama seorang teman pria, di bioskop 21 Jalan Maskumambang, Bandung, yang kini telah tiada.
Saya masih ingat, mengantre siang hari bolong, ada di barisan paling depan, sedangkan antrean mengular jauh ke belakang, dan para pengantre sebagian besar remaja putri. Haha. Gengsi, tapi ditahan. Biarlah malu, yang penting rasa penasaran terobati.
Karena ingatan ini, AADC 2 akan menarik bagi mereka yang punya kenangan tersendiri pada film pertamanya. Buat yang belum pernah menonton, atau tak merasa terkesan oleh film pertamanya, maka AADC 2 akan jadi film yang biasa saja.
Yang membuat AADC 2 istimewa adalah rasa kangen yang terobati pada karakter-karakter di film pertama, dan chemistry di antara mereka masih terasa begitu hangat.
Ah, apalagi senyum manis salah tingkah dari Rangga dan Cinta ketika mereka akhirnya bisa bertemu dan berduaan setelah putus bertahun-tahun. Begitu menggemaskan!
Bukan hanya Cinta yang penasaran pada ujung hubungan Rangga dan Cinta, tapi juga jutaan orang yang sudah jatuh cinta pada AADC.
Nah, AADC 2 menjawab semua pertanyaan itu. Cinta, juga jutaan orang yang sudah menonton film pertamanya, akhirnya bisa tidur nyenyak, tanpa memikirkan berapa purnama yang harus dihabiskan untuk menunggu kepastian dari Rangga.
Sodara-sodara, setelah menonton AADC 2, saya mengambil kesimpulan bahwa ada beberapa pesan moral dari film itu yang bisa kita ambil hikmahnya. Oh ya, tulisan ini berisi spoiler. Jadi, lebih baik dibaca oleh mereka yang sudah menonton filmnya.
Benarlah pepatah lama yang bilang, “Ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang.” Setidaknya, begitu yang Rangga yakini.
Meskipun dia setampan Nicholas Saputra dan punya kemampuan menulis puisi yang sangat romantis sehingga membuat hati perempuan pecinta sastra meleleh, begitu diingatkan oleh bapaknya Cinta soal kemapanan, setangguh-tangguhnya, secuek-cueknya, serta se-cool apa pun Rangga, dia akhirnya mundur teratur.
Cinta tak bisa dihidupi oleh puisi dan romantisme saja, tetap saja butuh uang.
2. Long distance relationship itu susah dipelihara.
Jarak Bandung–Jakarta saja sudah menguji banyak rasa sabar, apalagi jarak Jakarta–New York. Secanggih-canggihnya alat komunikasi, tetap saja tak bisa mengalahkan kenikmatan bertemu langsung.