Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indy Hardono
Pemerhati pendidikan

Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 

Generasi Milenial Butuh Kepekaan ‘Remote Sensing’ dan ‘Energi Geotermal’

Kompas.com - 20/05/2016, 13:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

KOMPAS.com - Apa arti nasionalisme bagi generasi yang bahkan tidak pernah membayangkan seperti apa rasanya jika freedom of speech adalah kemewahan pada suatu masa? Atau, sekedar membayangkan bahwa gerakan mahasiswa tahun 60-an dan 90-an adalah sesuatu yang heroik pada jamannya?

Belum lagi harus membayangkan nasionalisme tokoh-tokoh kebangkitan nasional 108 tahun lalu. Apakah arti kebangkitan bagi golden generation atau generasi emas ini? Apakah diperlukan gelombang kebangkitan nasional kedua menjelang 100 tahun kemerdekaan negeri ini pada 2045 nanti?

Turning Point

"Als ik eens Nederlander was. Seandainyasaya seorang Belanda". Tulisan maha berani dari Soewardi Soerjaningrat yang ditulis di harian De Expres milik Douwes Dekker pada 1913 itu membuat berang pemerintah kolonial. Tulisan itu, bisa jadi, adalah kritik tertulis yang paling dahsyat saat itu.

Tulisan tersebut adalah salah satu buah dari kebangkitan nasional pada saat Budi Utomo di  tahun 1908 membawa perubahan fundamental dalam pola perjuangan bangsa Indonesia. Perjuangan yang mengandalkan kekuatan fisik diganti dengan kekuatan intelektualitas. Melawan bukan dengan senjata dan otot, tapi lewat pikiran dan tulisan.

Budi Utomo pula yang mempelopori perjuangan sporadis menjadi terintegrasi. Suatu pola yang tidak pernah dikenal di era sebelumnya, yang mengandalkan ketokohan dari daerah masing-masing.

Integrasi itu direalisasikan dalam wadah kepartaian seperti Perhimpunan Indonesia. Lalu, ketokohan yang dulu menempatkan raja atau sultan sebagai panglima digantikan oleh para tokoh nasionalis yang tidak memandang suku dan fanatisme kedaerahan, melainkan idealisme dan intelektualitas sebagai "panglima". Itulah turning point perjuangan kita!

Remote Sensing

Para tokoh kebangkitan itu punya kepekaan (sensibility) dalam membaca dan memetakan zaman dan mengekstrapolasikan ke satu titik: kemerdekaan!

Ya, kepekaan. Bagaikan teknologi remote sensing, kemampuan penginderaan jarak jauh yang mengandalkan kepekaan 'sensor' progresifitas berpikir dan nasionalisme inilah yang harus dimiliki oleh generasi muda saat ini. Kepekaan untuk menciptakan kesadaran!

Menyadari bahwa perjuangan kekinian adalah perjuangan yang mengandalkan human resources ketimbang mengandalkan natural resources yang tidak berkelanjutan. Menyadari bahwa kepemimpinan ketokohan semata akan menjadi usang dan digeser menjadi kepemimpinan berbasis kompetensi, integritas dan nilai-nilai.

Menyadari bahwa revolusi teknologi informasi dan digital harus mendorong bangkitnya sektor usaha dan industri kreatif, kesadaran antikorupsi dan juga sektor pendidikan dan riset. Tanpa kepekaan, revolusi teknologi hanya disikapi sebatas kecanduan online game atau sekedar mengunduh foto selfie di berbagai media sosial. Ya, tak lebih dari itu!

Kekuatan geotermal

Kebangkitan bagi generasi milenial sejatinya adalah juga tentang ekstrapolasi ke satu titik: Indonesia 100 tahun merdeka, Indonesia yang berdaya saing dan bermartabat!

Kekuatan untuk bangkit (lagi) itu seyogianya sangatlah besar. Bak kekuatan geotermal, yang konon kandungan terbesarnya ada di Indonesia, kita punya kekuatan istimewa yang perlu digali dan dipancarkan.

Kekuatan itu adalah kearifan lokal dan nilai-nilai luhur, seperti kohesivitas, toleransi, daya juang, kreatifitas dan juga posisi geografis dan geopolitik yang "seksi". Integrasi kawasan ASEAN justru harus dijadikan momentum kebangkitan kedua, bukan sekedar peluang, apalagi ancaman.

Untuk mengolah kekuatan super itu memang perlu investasi besar. Tidak hanya investasi infrastruktur.

Budi Utomo menyerukan pada bangsa ini bahwa motor utama perubahan adalah pendidikan dan budaya, bukan politik. Pendidikan dan budaya harus berdiri paling depan sebagai panglima. Pendidikan yang bukan hanya berkutat pada aspek kognitif, tapi pendidikan yang membangkitkan kepekaan, dan kesadaran.

Ya, bukan pendidikan yang menghasilkan generasi yang "indiferent", generasi yang tidak peka. Kekuatan geotermal luar biasa itu akan mampu menggerakkan turbin-turbin kesadaran bangsa untuk menghasilkan energi kebangkitan.

Selamat memaknai hari kebangkitan nasional!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com