Uniknya puasa yang disebut puasa “mutih” ini saya jalani tanpa beban. Padahal puasa ini jauh lebih berat daripada sekedar tidak makan siomay, karena berlangsung hampir 24 jam dan hanya boleh makan sekali. Itupun hanya nasi putih dan minum air tawar.
Segala macam makanan enak, jajanan lezat, dan minuman menyegarkan sama sekali tidak membuat tergoda, dikalahkan bayangan “kesaktian” yang bakal saya raih. Bahkan andai semua makanan itu gratis, saya dan teman-teman seperguruan sepertinya tidak akan tertarik.
Setelah sekian lama berlatih, saya akhirnya memang tidak menjadi cukup sakti untuk bisa menjatuhkan orang tanpa menyentuhnya. Namun belakangan saya menyadari, puasa itu membuat saya lebih mampu menahan diri, lebih bersyukur, dan lebih berserah atau nrimo, kata orang Jawa.
Hal yang sungguh berbeda dibanding ketika saya harus puasa makan siomay karena terpaksa. Keterpaksaan membuat saya dengki pada orang-orang yang bisa makan siomay tanpa menderita gatal. Juga menjadikan saya benci pada penjualnya. Mungkin kalau saya penguasa, saya akan melarangnya berjualan di kampungku.
Sementara puasa yang kujalani dengan kesadaran dan keinginan sendiri justru mendatangkan kedamaian dan ketenangan.
Bagaimana dengan Anda?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.