Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Latief
Editor

Penulis adalah jurnalis Kompas.com yang lama menangani desk pendidikan. Rutinitas penulis saat ini adalah menangani content marketing di Kompas.com

Ongkos Mahal Gagasan "Mengajar 12 Jam" dan "Full Day School"

Kompas.com - 08/08/2016, 18:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

Menurut etimologinya, kata full day school berasal dari Bahasa Inggris, yang terdiri dari ‘full’ atau ‘penuh’, dan ‘day’ yang artinya ‘hari’. Jadi, ‘full day’ mengandung arti ‘seharian penuh’. Adapun ‘school’ artinya ‘sekolah’. Maka, dilihat dari etimologinya arti dari ‘full day school’ berarti sekolah atau kegiatan belajar yang dilakukan seharian penuh di sekolah.

Adapun dalam terminologinya secara luas, full day school mengandung arti sistem pendidikan yang menerapkan pembelajaran atau kegiatan belajar-mengajar sehari penuh. Sistem ini memadukan pengajaran intensif, yakni menambah jam pelajaran untuk pendalaman materi pelajaran dan pengembangan diri dan kreatifitas anak didik.

Dilihat dari paparan tersebut, ide full day school memang sangat baik, terutama membuat anak didik terkontrol. Tetapi, model semacam ini belum bisa dilaksanakan di sekolah negeri, yang notabene masih paling dominan menampung anak-anak didik di seluruh Indonesia dibandingkan kehadiran sekolah swasta. Karena dalam penyelenggaraannya sangat membutuhkan konsekuensi berupa pembiayaan yang tidak sedikit. Bagaimana dengan fasilitas untuk menanggung anak-anak didik seharian penuh, mulai alat bantu belajar dan mengajar sampai urusan makan anak-anak?

Pertanyaannya, apakah para orang tua rela melihat anak-anaknya kehilangan waktu bermain dan mengeksplorasi dunia luar di balik tembok sekolahnya, yang tanpa dibatasi aturan-aturan formal hingga seringkali membuat anak didik cepat bosan? Bukankah mereka akan kehilangan banyak waktunya di rumah dan belajar tentang hidup bersama keluarganya?

Bisa dibayangkan, sepulang sekolah sore hari anak-anak didik itu akan kelelahan. Rumah hanya menjadi tempat istirahat, karena tak banyak waktu lagi untuk bercengkerama dengan keluarganya, terutama jika orang tuanya yang juga terdiri dari manusia-manusia supersibuk. Bukankah sekolah terbaik itu ada di dalam rumah dan keluarganya? Itulah ongkos yang harus dibayar oleh anak-anak didik.

Dengan dua "permasalahan" dari gagasan di atas bisa dilihat bahwa semua memang butuh aturan, butuh payung hukum sebagai konsekuensi menerapkan perubahan dari yang sudah ada dan terlaksana menjadi kebijakan baru.

Apapun bentuknya, aturan merupakan terjemahan dari suatu pelaksanaan ide atau gagasan. Dalam kasus ini, bukan lagi soal 24 jam atau 12 jam atau bahkan 40 jam, tapi sejauh mana substansi pendidikan itu bisa direalisasikan oleh pemerintah. Selanjutnya, ide dasar sebuah konsep pendidikan itu berjalan sesuai target dan tujuan pendidikan atau tidak, itulah substansinya. Setelah itu, barulah aturan itu dibuat agar bukan lagi sekadar gagasan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com