Indy Hardono
Pemerhati pendidikan

Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation. 

Belajar Berpikir Kecil...

Kompas.com - 02/12/2016, 17:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

KOMPAS.com - Pernahkah terbayangkan, sebuah kapal selam berskala nano mengarungi pembuluh darah di tubuh kita dan bergerak dengan propeler yang digerakkan oleh gula sebagai bahan bakarnya?

Itulah konsep yang dikembangkan oleh profesor Ben Feringa, seorang ahli kimia dari Universitas Groningen di Belanda yang baru saja dianugrahi hadiah Nobel untuk bidang kimia tahun 2016.

Impian profesor yang dibesarkan di tanah pertanian di Belanda itu adalah mengembangkan nano teknologi, khususnya nano mesin untuk membantu dunia kedokteran. Dia membayangkan 50 tahun lagi akan tercipta mesin yang berfungsi sebagai robotic surgeon yang dapat mendeteksi lokasi atau bagian tubuh tempat dilakukannya terapi kemo yang paling presisi bagi seorang penderita kanker atau tumor.

Berpikir nano

Kita buka lagi catatan, bahwa 1 nanometer adalah 1/1,000,000,000 meter. Suatu dimensi yang bahkan lebih kecil dari sehelai rambut kita.

Berpikir nano adalah berpikir ke dalam (inward), bukan keluar (outward). Berpikir nano adalah berpikir yang dikendalikan oleh faktor terdalam dari diri kita yang kemudinya adalah self awareness dan conscience. Kesadaran diri itulah yang menggerakkan kita, bukan faktor luar!

Namun, kenyataannya, fakta membuktikan bahwa kita masih lebih gandrung dengan pola berpikir 'besar'. Orang lebih menghargai seorang tokoh besar dengan kerja kecil ketimbang orang 'kecil' dengan hasil kerja 'besar'.

Ya, banyak pemimpin yang dikategorikan sebagar pemimpin besar, bahkan diagungkan bak raja atau panglima perang hanya karena memiliki massa besar, didukung kekuatan besar, berbicara paling besar. Sebaliknya, pemimpin bersahaja, dan membumi, tidak berkoar-koar, hanya dipandang sebelah mata.

Bahkan, di kalangan akademia pun "sindrom megaloman" cukup kronis dan memprihatinkan. Banyak universitas yang masih mengandalkan nama besarnya sebagai universitas terbesar dan terhebat. Padahal, untuk unggul di level kawasan saja masih ngos-ngosan.

Dus, ini memang eranya nano teknologi! Era dimana kebutuhan kita semakin berorientasi kepada yang kecil-kecil mulai dari telepon, komputer sampai peralatan rumah tangga. Eranya kita diajak untuk mengulik sampai ke inti terkecil dari sesuatu yang besar.

Inilah era atau momentum manusia bukan lagi berbicara tentang cara membuat pesawat berbadan lebar dengan kapasitas 400 penumpang atau lebih, tapi berangan membuat sebuah mesin yang dapat ditanamkan di pembuluh darah seseorang untuk membantu mengefektifkan pengobatan penderita tumor.

www.shutterstock.com Banyak pemimpin yang dikategorikan sebagar pemimpin besar, bahkan diagungkan bak raja atau panglima perang hanya karena memiliki massa besar, didukung kekuatan besar, berbicara paling besar
Berpikir kecil

Segala yang besar dibangun dari partikel dan komponen-komponen kecil. Tapi, kadang kita lupa, kita ingin langsung mendapat hasil langsung besar. Kita bahkan terbiasa menghargai  pencapaian yang terlihat besar tanpa perduli kalau hasil besar adalah buah dari bibit-bibit kecil.

Kalau kita berenang di kolam kecil, maka kita merasa besar. Padahal, jika kita berenang di tengah lautan Pasifik, barulah kita merasakan betapa kita hanyalah buih kecil, sangat tak berarti.

Pun, jika kita hanya berkutat di satu lingkungan, satu organisasi, satu paham, dan merasa kita sudah berada di puncak dunia, maka hal selanjutnya yang terjadi adalah tergerusnya kita oleh zaman. Kita tidak akan kemana-mana, kita akan terborgol dengan ‘kebesaran’ itu sendiri. Itu-itu saja, dan cuma di situ-situ saja!

Maka, ketika segala persoalan bangsa ini diselesaikan dengan pendekatan makrosopik dan bukan mikroskopik, kita akan cenderung melihat hanya yang terlihat besar saja, namun tidak akan dapat mendeteksi inti permasalahannya, yang bak motor nano, yang hanya berbentuk serpihan bubuk tidak kasat mata.

Tak syak, jika kita menyelesaikan dengan cara makro, masif, akbar, teriakan, cercaan, hujatan dan bukan dengan pendekatan nano seperti nilai-nilai, dan kearifan lokal, maka sudah dapat kita tebak seperti apa hasilnya. Kita hanya berhenti pada hal-hal yang sifatnya kasat mata. Kita lupa, kalau kita tidak akan jadi besar dengan membesarkan ego.

Seni dari bangunan kecil

Jawaban dari kemajuan teknologi kedokteran, dirgantara, energi terbarukan, teknologi pangan tidak didapat dari batu meteor raksasa yang jatuh ke bumi atau dari tornado yang menyapu bersih sebuah benua.

Jawaban dari peradaban masa depan adalah perjalanan kita ke "dalam" atau ke inti dari  semua mahluk hidup, yaitu sel dan molekul, nukleus!

"The Art of Building Small" itulah judul kuliah umum dari professor Faringa di depan civitas akademika Universitas Groningen sebagai penghargaan kepadanya atas hadiah Nobel yang baru diterimanya.

"Dan di dalam diri kamu apakah kamu tidak memperhatikannya." (Az-Zariat ayat 21).

Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan ke dalam dirinya, karena di dalam diri manusia itu telah diciptakan sebuah mahligai dan di dalamnya Allah telah menanamkan rahasia-Nya. Its a journey of self discovery!

Maka, wajib bagi kita untuk mengadakan perjalanan ke inti kehidupan untuk mendapat jawaban dari semua permasalahan. Karena, dari perjalanan kecil, perjalanan mikroskopik, perjalanan nano itulah kita akan menemukan "penemuan besar" bernama kesucian, kekuatan, kearifan, rahman, rahim atau nukleus dari penciptaan kita.

Mari, mulai sekarang, kita berpikir kecil untuk penemuan yang lebih besar!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau