Seorang teman saya mengeluh soal anaknya.
"Masak dia gagal masuk Universitas X (dia menyebut sebuah PTN ternama). Padahal bapak ibunya sama-sama lulusan situ," keluhnya.
"Lho, memangnya seleksi masuk PTN sudah selesai?"
"Belum sih. Ini hasil simulasi di tempat dia ikut bimbingan."
"Lho, kamu memvonis anakmu berdasarkan hasil simulasi? Kupikir tadi sudah gagal benar. Artinya masih ada waktu untuk memperbaikinya, kan?"
"Iya, sih."
"Nah, ketimbang memvonis dia gagal, tidakkah lebih baik memberi dia semangat, mengubah program belajarnya, selagi masih ada waktu?"
Ia terdiam.
"Ada satu hal lagi. Kenapa dirimu kau jadikan standar untuk anakmu? Apakah kalau bapak ibunya lulusan PTN X, anaknya juga harus begitu?"
"Iya, dong."
"Apakah anakmu sama dengan kamu? Potensinya, bakatnya, minatnya? Pernahkah mengukur potensi anak? Pernahkah mencari tahu apa minat dia?"
Dia terdiam.
"Boleh jadi ia punya potensi yang sangat berbeda dengan kamu. Menyuruh dia mengikuti jalan kamu selain menyiksa dia juga boleh jadi telah membunuh potensi besar yang ia miliki. Ia punya bakat A, tapi akhirnya menjadi B, demi memuaskan keinginan orang tuanya."
"Tapi aku tidak memaksakan jurusan yang harus dia masuki. Yang penting dia bisa masuk PTN."
"Belum tentu juga anakmu butuh kuliah."