Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Memegang Kendali Pendidikan Anak

Kompas.com - 19/01/2017, 07:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Banyak orang yang menjadikan sekolah sebagai tumpuan bagi pendidikan anak-anaknya. Bahkan, tidak sedikit yang seolah telah membebaskan dirinya dari kewajiban mendidik anak-anaknya, setelah ia memasukkan anaknya ke sekolah.

Segala sesuatu diserahkan ke sekolah. Ibarat orang mengirim pakaian kotor ke binatu, ia cukup mebayar, lalu menerima hasilnya saja, berupa pakaian bersih.

Tidak sedikit pula yang kecewa dengan pihak sekolah, tapi tidak sanggup berbuat apa-apa. Seorang ibu mengadu pada saya, di sekolah anaknya diajarkan pandangan bahwa musik itu haram. Ia sendiri tidak menganggapnya begitu.

Perbedaan pandangan itu bisa saja menjadi sumber konflik dengan anak. Bagaimana memberi tahu anak mengenai pandangan lain soal musik?

Di situlah pentingnya peran kita sebagai pengendali pendidikan anak. Ingat, tanggung jawab pendidikan anak ada pada kita, bukan pada sekolah. Bagaimana pun juga, sekolah hanya pembantu kita dalam pendidikan.

Peran utama, kendali, harus ada pada kita. Kenapa? Karena ini anak kita. Sebagus apapun sekolah, yang berada di situ adalah orang lain.

Bagaimana bersikap terhadap sekolah? Sekolah adalah mitra kita dalam mendidik anak. Ketika hendak memasukkan anak ke sekolah, kita memilih sekolah yang cocok.

Apa dasarnya? Dasarnya adalah prinsip kita tentang pendidikan anak. Kita punya prinsip dan konsep. Maka kita cari sekolah yang cocok dengan prinsip itu, atau setidaknya mendekati. Jangan sampai kita memasukkan anak ke sekolah yang tidak cocok dengan prinsip kita.

Sekali lagi, sekolah adalah mitra. Artinya, kita juga harus memberi masukan kepada sekolah soal muatan pendidikan yang mereka lakukan.

Saya sering menyampaikan kritik kepada guru-guru di sekolah anak saya. Pernah saya tegur kepala sekolah soal kurangnya tempat sampah pada acara di sekolah, sehingga sampah bertebaran. Di lain waktu saya tegur soal AC yang menyala di ruangan kelas yang tidak sedang dipakai.

Minggu lalu saya hadir rapat di sekolah anak, untuk persiapan jambore pramuka yang akan diikuti anak saya. Salah satu hal yang dibahas adalah soal pintu gerbang tenda yang menurut saya berbiaya mahal.

Gurunya dengan bangga bercerita bahwa gerbang ini nanti akan dikerjakan oleh tukang yang terampil (profesional, istilah dia), dan kemungkinan besar akan memenangkan kompetisi. Usai penjelasan, saya tanya, ”Unsur pendidikan apa yang sedang kita lakukan melalui gerbang megah ini?”

Guru tadi gelagapan, memberi jawaban berputar-putar. Kepala sekolah ikut menjawab, tapi tetap tanpa substansi yang menjawab pertanyaan saya.

Saya paham, karena mereka memang tidak punya jawaban. Mereka sedang khilaf, lupa soal apa itu substansi pendidikan. Akhirnya ada guru yang menjelaskan bahwa para siswa nantinya akan terlibat dalam pembangunan gerbang. Saya anggap jawaban itu sejenis jawaban emergency.

Poin saya adalah, teruslah mengingatkan guru-guru tentang hakikat pendidikan. Saya rewel kepada guru-guru anak saya, bukan karena tidak percaya kepada sekolah. Saya sedang menjalankan peran sebagai pengendali pendidikan anak saya. Sekolah adalah mitra saya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau