Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Augustinus Widyaputranto
Pemerhati pendidikan

Pemerhati masalah pendidikan, bekerja sebagai Kepala Bagian Program Development Sekolah Bisnis dan Ekonomi – Universitas Prasetiya Mulya,  Jakarta

Belenggu Pedagogi Kekerasan

Kompas.com - 25/01/2017, 12:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Kultur pendidikan dengan metode intimidatif, militeristik, dan tidak dialogis pada dasarnya memiliki filosofi bahwa manusia hanya bisa berkembang melalui pemaksaan dan tekanan.

Pedagogi ini tidak berangkat dari keyakinan bahwa setiap pribadi adalah pembelajar yang positif dan unik. Baginya, keterampilan berdialog, menerima perbedaan dan keunikan bukanlah keutamaan fundamental.

Peserta didik tidak dilatih untuk bisa mandiri berpendapat, memiliki integritas, dan bersikap otentik, namun lebih condong pada kepatuhan dan konformitas atas nama semangat korsa.

Individu kemudian terbiasa mencari aman dan konformis dalam kelompoknya. Celakanya, pola-pola konformitas, cari aman dan ikut arus bisa menjadi iklim tumbuh dan terpeliharanya budaya koruptif yang sistemik.

Sangat logis pula bila dewasa ini ada kesulitan dalam masyarakat untuk berdialog dan menerima perbedaan.

Paradigma Pedagogi Reflektif

Secara pedagogis, proses pembelajaran pada esensinya adalah kegiatan yang cerdas dan partisipatif yang mengembangkan otonomi berpikir, kreativitas, serta membentuk kompetensi dan sikap bertanggung jawab.

Kegiatan ini harus merangsang peserta didik agar secara reflektif dapat menemukan dan membangun dirinya yang otentik, dalam proses belajar di masing-masing jenjang melalui dinamika interaksi yang sehat dengan para pendidik, peserta didik lainnya, tenaga kependidikan, keluarga, serta masyarakat sekitarnya.

Peserta didik harus dilatih untuk berpikir, menganalisa, berdiskresi menimbang-nimbang pilihan, berani berdialog dan berargumentasi secara dewasa dan ilmiah serta lalu mengambil keputusan, bukan sekadar untuk patuh atau konformis.

Dalam konteks Paradigma Pedagogi Reflektif, semua proses ini diolah agar peserta didik dapat menemukan lesson-learned yang menggerakan tiga daya jiwa: ingatan, kesadaran, dan kehendak.

Model pendidikan ini hanya bisa dibangun bila bangsa ini bisa melepaskan diri dari habitus kekerasan, dan memulai habitus dialog yang menghargai perbedaan, agar kita semua menyadari bahwa kekuatan bangsa ini adalah di dalam kemajemukannya, bukan di dalam uniformitas yang dibangun dari paksaan dan tekanan, sebagaimana akhir-akhir ini kita rasakan di dalam kehidupan sosial politik.

Ketidakmampuan untuk berdialog inilah salah satu akar dari rantai kekerasan yang selalu mencengkeram dunia pendidikan kita.

Tentu tidak mudah memutus rantai habitus kekerasan ini. Institusi pendidikan dan para pendidik perlu menemukan model pedagogi pendidikan yang baru untuk menggantikan model pendidikan penuh kultur kekerasan yang selama ini terpelihara.

Oleh sebab itu, dalam konteks nasional yang lebih luas, revolusi mental haruslah kembali menjadi fokus penting Presiden Jokowi, sebagai bentuk gerakan bangsa untuk mau berubah, dan bukan cuma slogan atau program yang ramai di iklan tetapi miskin implementasi dan dampaknya.

Tentu tugas besar berikutnya dari pemerintah dan setiap institusi pendidikan baik dasar, menengah dan pendidikan tinggi adalah membuat kebijakan yang lebih luas untuk menciptakan kultur pedagogis yang jauh dari kekerasan, sehingga dapat membantu peserta didik untuk menjadi warganegara yang demokratis, berintegritas dan bertanggung jawab, yang menjunjung tinggi dialog dan menghargai keragaman dalam hidup bersama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com