Muhammad Latief
Editor

Penulis adalah jurnalis Kompas.com yang lama menangani desk pendidikan. Rutinitas penulis saat ini adalah menangani content marketing di Kompas.com

Setelah Musibah Mapala UII, Mau ke Mana Pencinta Alam?

Kompas.com - 27/01/2017, 17:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLatief

Pola tersebut berjalan hingga memasuki awal 1980-an. Dengan semakin membengkaknya anggota, Mapala UI mulai menata sistem perekrutan lewat Badan Khusus Pelantikan atau BKP. Selain si calon harus memiliki surat dokter/kesehatan, ada psikotes untuk para caang tersebut sebelum dinyatakan resmi menjadi peserta pendidikan.

Selama kurang lebih setahun, beberapa calon anggota yang dikelompokkan dan ditemani beberapa mentor yang ditunjuk akan mengikuti program pendidikan, baik di kelas (ceramah) maupun praktik lapangan.

Kekerasan? Tidak ada dan takkan pernah ada kesempatan untuk itu. Pola komunikasi dan hubungan antara junior (caang) dan senior (mentor) lebih banyak berlangsung dalam diskusi dan praktik lapangan dalam menyerap ilmu.

Mental mereka pun terbentuk bukan dengan cara-cara ‘bentakisme’ di telinga, 'tonjokisme' di sekujur badan atau kepala ala preman pasar hanya lantaran si junior lupa memanggil si senior dengan nama panggilannya tanpa embel-embel "kak" atau "senior".

Tidak, bukan seperti itu. Mental baja seorang calon anggota akan terbentuk ketika dia harus menghadapi presentasi perjalanan pendakian panjang, ketika makanan menipis sementara perjalanan masih dua atau tiga hari lagi, dan sebagainya. Alam itu sendirilah yang membentuk mental mereka, bukan lantaran lagak bentak berkacak pinggang para senior yang "ringan tangan".

Plus, di Mapala UI ada dewan pengawas yang disebut Tim Kecil BKP. Tugas tim inilah yang mengawasi dan memastikan bahwa pendidikan para junior itu berlangsung sesuai program dan target kebutuhan organisasi ke depannya. Dan itu berlangsung sampai detik ini, di usia Mapala UI yang memasuki  52 tahun, tanpa pernah ada satu calon anggota melaporkan diri bahwa tangan seniornya pernah menampar, apalagi memukulnya hingga lebam selama masa pendidikan!

Bagaimana dengan mapala-mapala lainnya?

Pribadi berkarakter

Tentu, pola perekrutan pendidikan anggota mahasiswa pencinta alam yang dilakukan Mapala UI, --sejak era Soe Hok Gie sampai hari ini, bukanlah pola paling sempurna. Banyak klub atau mapala lain punya pola pendidikan yang mungkin lebih baik lagi untuk diterapkan.

Tetapi, berkaca pada peristiwa tragis Mapala UII, adakah para pegiat alam di mapala-mapala seluruh Indonesia sadar bahwa peristiwa tragis dari cara perekrutan dengan pendekatan kekerasan itu bisa menjadi wabah yang mengerikan? Berapa banyak yang mau mengakui ini musibah yang tak perlu lagi terjadi?

Hal paling mendasar yang mungkin dilupakan, bahkan jangan-jangan sudah disepelekan, adalah kode etik pecinta alam. Dua dari 7 kode etik pencinta alam itu menyatakan bahwa pencinta alam selalu menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai manusia dan kerabatnya. Pencinta alam juga berusaha mempererat tali persaudaraan antara pecinta alam sesuai dengan azas pecinta alam.

Dari kode etik itulah, sejatinya, tak perlu ada kekerasan selama bermain di alam. Sebagai rumah, sekolah, museum, sekaligus laboratorium, alam seyogianya menjadi wadah pendidikan yang lebih bermanfaat ketimbang ajang mengencangkan otot semata dan melepaskan dahaga akan haus udara segar perkotaan. Maklum, anggota mapala umumnya anak-anak yang tinggal di kota alias anak-anak yang tinggal di perkotaan.

Alam adalah tempat mereka menguji semua pengetahuan yang didapatkan di sekolah, yang bahkan lebih banyak wawasan didapatkan langsung di alam dibandingkan bangku kuliah tempat para pencinta alam itu berasal, mulai flora, fauna, atau arkeologi dan sebagainya. Ke sinitulah seharusnya tujuan pendidikan para calon anggota mapala diperkuat, bukan adu "tua" dan "otot"!

Boleh jadi, tanpa disadari, bahwa para anggota mapala punya kesempatan paling besar untuk menjadikan alam sebagai laboratorium pengetahuan bagi dirinya pribadi; menjadi pribadi berkarakter!

Nouf Zahrah Anastasia, seorang guru yang sekaligus pegiat alam bebas mengatakan bahwa bergiat di alam bukanlah kegiatan impulsif, karena kegiatan ini mengharuskan seseorang melakukan persiapan dengan baik. Sebelum naik gunung misalnya, fisik seseorang harus prima. Mereka harus jujur jika berpenyakit yang bisa membahayakan dirinya dalam perjalanan di alam bebas. Itu mutlak, tak bisa ditawar-tawar!

Untuk itulah, seseorang yang hendak melakukan aktivitas di alam bebas sebenarnya telah belajar banyak hal positif, bahkan sejak persiapan awal itu dirancang. Dari hulu ke hilir, mulai penentuan tujuan, merancang target perjalanan, mencari tahu sistem pendukung perjalanan, kondisi darurat, daftar peralatan dan perbekalan dan banyak lagi yang dibutuhkan agar perjalanan sesuai target. Apakah di situ dibutuhkan kekerasan sang senior?

Secara sadar, melakukan persiapan perjalanan pendakian tentu akan melatih seseorang untuk terbiasa untuk tidak gegabah dan selalu penuh perhitungan di setiap langkahnya. Dua hal ini pasti dibutuhkan dalam menjalani petualangan kehidupan sehari hari. Dengan melakukan perencanaan, seseorang juga belajar bertanggung jawab atas segala aktivitas yang akan dilakukannya. Di sanalah makna pendidikan seorang anggota mapala…

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau