Dr Oen, Ya Dokter, Ya Pejuang...

Kompas.com - 24/03/2017, 14:29 WIB

KOMPAS.com - Banyak orang sering mempertanyakan peran etnis Tionghoa dalam perjuangan Indonesia. Oen Boen Ing merupakan eksemplar par excelence bagi sosok dokter, pejuang, sosiawan, sekaligus dermawan Tionghoa-Indonesia.

Lahir di Salatiga pada 3 Maret 1903, sedari kecil Oen Boen Ing atau akrab disapa Dr Oen sudah menggenggam cita-cita menyembuhkan orang sakit. Hal itu terinspirasi dari sang kakek yang merupakan sinshe kenamaan di Salatiga.

Oen kecil memang kerap menyaksikan cara sang kakek yang tak pernah meminta bayaran dari pasien yang ditanganinya. Singkat kata, Oen lalu mendaftarkan dirinya di Stovia, Sekolah Pendidikan Dokter Hindia, di Batavia.

Di sekolah itu Oen berjumpa dengan para tokoh pergerakan Indonesia dan Tionghoa, seperti Dr Moewardi, Moh Roem, Ang Yan Goan, serta Dr Kwa Tjoan Sioe. Pertemuan itu kelak berkembang menjadi rangkaian diskusi yang berperan membentuk pemikiran dan semangat perjuangan Dr Oen.

Patriot Revolusi

Hijrah di Surakarta, Dr Oen menyaksikan langsung seluruh rangkaian proses transisi kekuasaan di Indonesia, mulai zaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang, proklamasi kemerdekaan, hingga perjuangan di masa revolusi. Dia bahkan turut andil dalam seluruh rangkaian periode historis tersebut.

Penekanan mungkin perlu diberikan di masa revolusi Indonesia, yaitu era ketika orang Tionghoa kerap ditampilkan berseberangan dalam konteks besar penulisan sejarah revolusi Indonesia.

Saat huru-hara anti-Tionghoa tengah membara di Surakarta misalnya, nama Dr Oen justru dielu-elukan sebagai pahlawan, terutama oleh rakyak kebanyakan. Bersama dengan pejuang Republik dari berbagai elemen, dia bahu-membahu berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Dr Oen secara diam-diam menyuplai penisilin untuk Jenderal Sudirman dan mengobati Tentara Pelajar yang membutuhkan perawatan. Dia mampu mewarnai perjuangan revolusi lewat kontribusinya di sektor medis.

Di situlah peran Dr Oen menjadi penting sebagai agen pengubah sejarah, terutama di tengah merebaknya isu sara belakangan ini.

Dokter Mangkunegaran

Dr Oen dan Pura Mangkunegaran merupakan dua unsur yang tak terpisahkan. Sejak 1944 dirinya sudah dipercaya menjadi dokter pribadi Pura Mangkunegaran dan terus diemban tugas itu hingga akhir hayatnya.

Memang, Dr Oen dipercaya untuk menangani kesehatan keluarga besar Mangkunegaran, mulai putra sentana hingga pegawai Mangkunegaran. Dirinya juga dipercaya menjadi dokter pribadi dari Gusti Nurul.

Dr Oen berkawan karib dengan Mangkunagoro VIII dan menjadi ayah angkat dari Mangkunagoro IX. Dia jugalah yang kemudian memberikan nama Wu Yi kepada Mangkunagoro IX.

Berkat dedikasinya bagi Pura Mangkunegaran khususnya, dan penduduk Surakarta pada umumnya, pada 11 September 1975 Dr Oen menerima gelar "Kandjeng Raden Toemenggoeng (KRT) Obi Darmohoesodo" dari Pura Mangkunegaran. Gelar itu kemudian dinaikkan menjadi "Kandjeng Raden Mas Toemenggoeng (KRMT) Hario Obi Darmohoesodo” pada 24 Januari 1993.

Dr Oen punya "tempat" sendiri di mata keluarga besar Mangkunegaran. Tak heran, ketika meninggal, upacara pelepasan jenazahnya dilakukan menggunakan tradisi Mangkunegaran, suatu kehormatan yang tentu tak bisa didapatkan oleh sembarang orang.

Tulus tanpa pandang bulu

Sehari berselang setelah kepergian Dr Oen yang meninggal pada 30 Oktober 1982, baik surat kabar nasional dan lokal mencoba mengulas kembali peran sang dokter. Kesimpulan dari beragam pemberitaan tersebut; publik jelas merasa kehilangan sosok Dr Oen, yang dikenal tulus dan tanpa pamrih mengobati pasien dan mungkin sulit ditemukan lagi di masa mendatang.

Ya, ketika pasiennya tidak mampu menebus obat, beliau tak segan untuk merogoh kocek pribadinya. Dia bahkan mulai membuka praktiknya sejak pukul 03.00 pagi!

Di bawah penanganannya, stereotip bahwa "sehat haruslah mahal" berhasil dipatahkan. Masyarakat yang sebelumnya melihat rumah sakit sebagai tempat yang "angker", kini mulai berani memeriksakan penyakitnya.

Berkat dedikasinya itu penduduk Surakarta pun memandangnya sebagai pengayom rakyat kecil.

Menambal sejarah

Menurut RM Daradjadi, ada semacam titik temu antara falsafah hidup Dr Oen dengan budaya Jawa. Dia sukses menerapkan ajaran sepi ing pamrih rame ing gawe atau bekerja keras tanpa mengharapkan imbalan material.

Sudah terbukti, meski terlahir sebagai Tionghoa, namun Dr Oen menghayati budaya dan tradisi Jawa. Di samping itu, dia juga berhasil menangkap pesan Mangkunagoro I (Pangeran Sambernyawa), yang tertulis dalam Serat Wedhatama, mengenai tiga poin penting kehidupan, yaitu: rumangsa melu handarbeni (merasa turut memiliki), melu hangrungkebi (turut bertanggung jawab mempertahankan), dan malat sarira hangrasa wani (berani mengoreksi diri).

Bagi RM Daradjadi, Dr Oen dianggap berhasil menerapkan dan menghayati poin-poin tersebut sebagai pegangan hidupnya.

Lewat buku tulisan Ravando ini, Dr Oen: Pejuang dan Pengayom Rakyak Kecil, sosok Dr Oen berhasil ditampilkan secara utuh. Selain itu, pembaca seolah dibawa untuk menyelami jiwa zaman yang sedang berkembang saat itu.

Ditulis dengan pendekatan historis, sumber yang digunakan pun bervariasi, mulai dari arsip, koran, buletin, majalah, buku peringatan, hingga wawancara. Melalui narasi hidup Dr Oen ini, diharapkan pelbagai kekosongan sejarah Indonesia, terutama di masa revolusi, dapat sedikit tertambal.

Selain itu, biografi ini juga dapat menjadi rujukan pembanding atas pelabelan economic animal yang kerap disematkan kepada orang Tionghoa. Rekam jejak Dr Oen telah membuktikannya.

BAGUS ZIDNI ILMAN NAFI/PENERBIT BUKU KOMPAS

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau