KOMPAS.com - Dalam epik Mahabarata dan Baratayuda dikisahkan tentang peperangan maha dahsyat selama 18 hari antara Pandawa dan Kurawa. Ini adalah Perang Baratayuda, perang saudara yang tidak cukup mengandalkan kesaktian, namun kepiawaian dan strategi pertempuran tingkat dewa.
Tak heran, saking dahsyatnya, peperangan ini membuat para dewa "turun tangan". Mereka memantau langsung dan memberikan arahannya.
Kini, setelah ratusan tahun berlalu, kisah perang legendaris itu masih terekam memasuki dunia yang semakin tak berbatas (borderless). Dunia tanpa batas itulah ibarat Padang Kurusetra bagi generasi muda kita, ketika hidup di satu negara hanyalah batas geografis dan informasi tidak lagi mengenal batas warganegara dan teritorial. Jadi, inilah Perang Baratayuda bagi generasi milenial!
Ya, semua adalah warga dunia sehingga di manapun berada kita akan menghadapi persaingan global. Yang pasti, hal sesungguhnya terjadi adalah "Perang Saudara" di dalam generasi milenial itu sendiri.
Memang, baik Pandawa maupun Kurawa punya pasukan siap tempur. Namun, pasukan tersebut tak ada artinya jika tidak dipimpin kesatria handal. Peperangan hanya akan dimenangkan pihak yang memiliki kesatria cerdik, dapat membaca situasi, dan kualitas kepemimpinannya sangat mumpuni.
Pandawa memiliki lima orang kesatria. Mereka hasil didikan dan tempaan para dewa. Sebutlah Arjuna, sangat ksatria utama Pandawa, yang tidak hanya belajar dari Resi Dorna dalam hal ilmu militer dan membidikkan panah, namun juga ditempa mentalnya melalui tapa brata di Mahameru (lakon Arjunawiwaha), sebelum akhinya ‘lulus’ dan dianugrahi senjata khusus oleh dewa berupa panah bernama Pasopati.
Pendidikan dan tempaan yang diterima oleh Arjuna, Yudistira, Bima, Nakula dan Sadewa adalah pendidikan lengkap. Ya, bukan hanya ilmu pengetahuan (kognitif)) yang didapat, melainkan juga pengasahan kematangan, kearifannya (asertif), serta keterampilan menerapkan ilmu (psikomotrik). Dengan modal itulah Pandawa memenangkan Baratayuda.
Sistem pendidikan dan kurikulum nasional masa kini seyogianya harus bisa mencetak para kesatria tangguh. Bonus demografi yang ramai digaungkan bisa dinikmati pada 2030 tentu tidak akan terjadi begitu saja.
Kenapa? Ada 78 juta generasi muda usia produktif yang mungkin malah akan menjadi "beban" jika perguruan tinggi tak dapat memberikan suplai kesatria yang cukup kepada bangsa ini. Ingat, Kurawa diperkuat pasukan sebanyak dua kali lipat dari Pandawa, tapi tetap kalah dalam Perang Baratayuda.
Artinya, bonus demografi tidak akan terjadi jika perguruan tinggi hanya menyuplai angkatan kerja dengan spesifikasi pas-pasan, yang tidak bermuara pada keunggulan global.
Setelah pengasingan di hutan selama 12 tahun yang diikuti oleh tapa brata penuh cobaan, para dewa pun akhinrya menganugrahi pandawa dengan senjata utamanya. Salah satu yang terkenal adalah panah Pasopati yang dianugrahkan kepada Arjuna pada saat "wisuda" Arjunawiwaha.
Pasopati adalah lambang ilmu paripurna, bukti kelulusan cum laude, yang membuat Arjuna tidak hanya menguasai ilmu perang, tapi juga bermental baja dan keterampilan mengombinasikan keduanya. Ilmu yang harmoni;:ngerti, ngrasa , nglakoni menurut Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara.
Bima juga diberikan senjata khusus maha mematikan yaitu Gada Rujapala. Senjata ini sudah disesuaikan dengan karakterisktik Bima, yang kokoh dan kadang kasar.
Itulah hebatnya para dewa, para pendidik yang mampu menyesuaikan karakter dan potensi anak didik dengan ilmu yang diberikannya. Sebagian anak menjadi unggul kecerdasan linguistiknya, sedangkan yang lain lebih berpotensi dalam hal numerik dan kinestetik.
Seorang Cak Lontong piawai mengemas kata menjadi tontonan apik di layar televisi. Hal ini tentu tidak dapat dibandingkan dengan seorang ahli fisika.
Dewa pun tidak memaksakan Yudhistira berada di garis depan medan laga Baratayuda. Namun, ia mendapat Jamus Kalimasada yang dianugrahkan dewa yang berupa kumpulan mantra yang dapat dikeluakan sewaktu-waktu dan mematikan lawan
Carilah Pasopati
Masih ada satu lagi senjata pamungkas yang menjadi salah satu ikon Perang Baratayuda, yaitu Konta Wijaya. Senjata sakti ini dianugerahi oleh dewa kepada Adipati Karna, kesatria dari kubu Kurawa yang terkenal dengan integritas dan kesetiaannya.
Tak satu pun kesatria dapat mengalahkan senjata yang hanya dapat dipergunakan sekali saja. Karena senjata inilah Gatot Kaca, putra Bima, yang juga seorang kesatria utama dari kubu Pandawa, roboh menghempas bumi dan gugur.
Sejatinya, bak dalam Perang Baratayuda, generasi muda masa kini pun harus memiliki Konta dan Pasopati jika ingin memenangkan "Baratayuda Milenial". Tak cukup hanya membanggakan indeks prestasi di atas rata-rata, karena ada berjuta orang dengan indeks prestasi yang persis sama.
Tidak cukup juga hanya mengandalkan, "Saya lulusan universitas ternama".
Ya, karena ada beribu perguruan tinggi yang memiliki peringkat lebih baik. Mereka juga tak cukup hanya berlaga di kompetisi global dengan senjata minimum requirement atau sekedar memenuhi eligibility criteria, karena saingannya adalah berjuta prajurit.
Seorang kesatria harus datang dengan 'keunggulan'. baik itu keunggulan akademis maupun nonakademis. Keunggulan akademis Arjuna didapat dari Resi Dorna yang berperan penting mengasah keahlian memanahnya.
Namun, keunggulan nonakademisnya banyak dia dapatkan dari Batara Kresna, sang penasehat Pandawa, yang banyak mengajarkan tentang berpikir kritis, situasional, out of the box dan juga kearifan kepada Arjuna dan para kestaria Pandawa lainnya yang akhirnya merupakan ‘senjata pamungkas’ untuk memenangkan peperangan.
Keunggulan kaum milenial yang menjadi senjata andalan generasi muda adalah kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, serta berinteraksi dalam lingkup multikultur. Satu hal yang tak kalah penting adalah kesadaran akan potensi diri dan kepekaan terhadap tantangan ke depan.
Bukan karbitan
Pembentukkan kesatria perlu waktu. Pandawa Lima tidak serta merta dapat memenangkan peperangan. Kemenangan di Padang Kurusetra bukan hadiah, tapi sebuah proses panjang.
Pembentukan kesatria juga perlu dipupuk. Mereka tidak dapat "dikarbit", terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan kedewasaan, kematangan, dan kearifan.
Namun, di atas semua itu, untuk membentuk generasi milenial menjadi generasi kesatria, diperlukan guru militer sekaliber Dorna. Butuh guru besar taktik perang dan spiritual sekaliber Prabu Kresna, dan juga ibu sehebat dan sebijak Dewi Kunti, yang tidak hanya mencekoki dan menuangkan ilmu, namun juga memberikan kesempatan kepada anak didiknya untuk gagal, untuk mencoba dan bereksperimen, serta berpikir kritis.
Satu hal tak kalah penting adalah untuk belajar dari kekalahan, untuk modal memetik kemenangan. Ya, it takes a village untuk membentuk generasi kesatria! Dibutuhkan pendidik yang satria pandita untuk mendidik calon pemimpin yang kelak dapat menjadi pemimpin paling dipanuti.
Selamat Hari Pendidikan Nasional!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.