KOMPAS.com
- Sebutlah namanya Radit, siswa berusia 18 tahun. Radit diterima di fakultas hukum perguruan tinggi negeri (PTN) ternama melalui jalur undangan tanpa tes. Radit sebetulnya ragu, apakah memang itu bidang studi yang akan dia geluti? Tapi, karena "tekanan" pihak sekolah yang mengatakan bahwa kalau dia tidak mengambil kesempatan itu, pihak sekolah akan menanggung akibatnya. Ya, di tahun berikutnya nanti, adik-adik kelasnya tidak akan mendapat kesempatan masuk lewat jalur undangan.Tak hanya itu, "Tekanan" juga datang dari orang tuanya, seorang pengacara papan atas. Si orang tua memegang prinsip dari peribahasa lama bahwa 'buah apel tidak jatuh jauh dari pohonnya'.
Radit akhirnya masuk ke fakultas hukum. Baru dua semester dia menjalani studinya itu, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk keluar dan pindah ke jurusan seni yang sebetulnya bidang yang benar-benar dia inginkan.
Lain Radit, lain juga Mira, sebutlah begitu namanya. Usianya juga 18 tahun. Mira juga diterima di fakultas ekonomi jurusan manajemen salah satu PTN terkenal. Tapi, akhirnya dia memilih masuk ke sekolah tinggi swasta yang relatif baru dan mengkhususkan diri pada bidang studi kewirausahaan.
Mira mengambil keputusan itu karena memang punya 'passion' kuat menjadi seorang pengusaha. Keputusan itu diambil walaupun harus diiringi tangis sang ibu dan muka masam sang ayah. Kedua orang tuanya menganggap bahwa memilih sekolah tinggi ketimbang PTN ternama adalah keputusan bodoh! Ya, keputusan yang bodoh!
Sadarkah kita, berapa banyak orang tua yang merayakan keberhasilan anaknya meraih nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi? Berapa banyak orang tua merayakan keberhasilan anaknya diterima di universitas favorit?
Tapi, coba bandingkan, berapa banyak orang tua mau merayakan anaknya yang masuk sekolah kejuruan atau merayakan anaknya yang memutuskan masuk jurusan arkeologi, padahal sang ibu adalah dosen fakultas teknik?
Sejak 1945 kita, orang Indonesia, memang sudah 'merdeka'. Kita memang sudah 'bangkit' sejak 1908. Tapi, apakah pendidikan kita sekarang sudah bisa dikategorikan sebagai pendidikan yang 'memerdekakan'. Apakah terasa bahwa pendidikan kita saat ini adalah yang 'membangkitkan' anak-anak bangsa? Anak-anak kita?
Jujur saja. Saat ini masih banyak siswa yang tidak 'merdeka' dalam mengeksplorasi minat mereka, mengeksplorasi sesuatu yang berbeda hanya karena dibatasi oleh norma-norma yang mengatakan bahwa "Kalau bukan jurusan eksakta, maka kamu tidak termasuk anak cerdas. Kalau tidak lulus UN, maka 'klaar' hidupmu!".
Adalah menjadi tontonan rutin di televisi ketika para siswa mulai SD sampai SMA menangis sesenggukan pada saat doa bersama menjelang UN, karena UN begitu disakralkan. UN dianggap sebagai momok, kesulitan dan 'ancaman' , meski tahun ini hal itu sudah mulai berubah.
Anggapan setelah lulus S-1, maka si anak 'harus' S-2 dan setelah itu S-3 sudah menjadi suatu hal lumrah. Banyak para lulusan S-1, ketika ditanya alasannya meneruskan ke jenjang S-2, maka sebagian besar menjawab, "Karena saya sudah lulus S-1!".
Bahkan, untuk lulusan S-2, jika ditanya alasanya meneruskan ke jenjang S-3, maka jawabannya adalah, "Karena saya sudah lulus S-2!".
Rasanya, tidak banyak orang menyadari bahwa ada tanggung jawab akademis yang diemban seseorang anak setelah meraih gelar doktor. Karena, gelar doktor seyogiyanya bukan sekedar untuk 'mempercantik' CV, bukan semata untuk kepentingan nyaleg, apalagi nyapres!.