Sebagai mantan praktisi pendidikan dan pernah mengenyam lingkungan Kemdikbud, saya termasuk yang kurang setuju gagasan Sekolah 5 (lima) Hari tersebut diformalkan dalam bentuk Permen. Karena, fakta di lapangan semua sudah terjadi secara alamiyah.
Daerah yang siap sudah menjalankan bertahun-tahun dan yang belum tetap 6 (enam) hari sepekan, keduanya tetap menjalankan pagu waktu belajar yang ditetapkan Mendikbud untuk semua jenjang pendidikan perpekan. Madrasah diniyah juga tidak merasa terusik karena sudah menempatkan diri secara alamiyah.
Jika berniat memberi ruang yang lebih untuk penguatan karakter murid, Kemdikbud seharusnya cukup memfasilitasi praktek yang sudah terjadi, misalnya dengan membuat SKB (Surat Keputusan Bersama) dengan Kementerian Agama agar Madin dan pendidikan sejenis ikut menguatkan karakter murid.
Kemdikbud juga wajib mendorong Dirjen PAUD Pendidikan Masyarakat (Dikmas) Kemdikbud untuk memperkuat program Dikmas agar menopang persekolahan dengan memperhatikan keunikan daerah.
"Shortermisme"
Tetapi, ternyata Presiden berfikir dan bertindak lain. Meskipun isi Permendikbud tersebut formal, tetapi sangat akomodatif dan tidak menafikan Madin dan jenis pendidikan non-formal dan informal lain, dianggap perlu tidak dilaksanakan sehingga memerlukan peraturan Perundangan lebih tinggi, Peraturan Presiden (Perpres). Otoritas formal Mendikbud dalam kasus ini dianulir.
Tentu, tulisan ini tidak ingin menyorot kelemahan Kemdikbud dalam menyosialisasikan gagasannya kepada multi-pemangku kepentingan, terutama influencers pribadi dan kelompok ormas yang langsung terdampak, karena memang terlihat lemah dibanding pelaksanaan gagasan Kemdikbud sebelumnya tentang Pelaksanaan UN dan Pelepasan UN, sebagai syarat kelulusan.
Tulisan ini ingin khusus menyoroti cara Presiden mengelola Kemdikbud. Cara Presiden menganulir gagasan Kemdikbud ketika akan meniadakan UN mungkin masih bisa dianggap benar, meski seharusnya bisa lebih elegan daripada cara itu sehingga Kemdikbud tetap dipercaya publik.
Tetapi, cara Presiden menganulir otoritas Mendikbud yang sudah tertuang dalam bentuk Permen yang sudah diputuskan disetujui dalam rapat terbatas dan disampaikan oleh pihak lain, rasanya kurang bijak.
Membentuk persepsi publik sikap "shortemisme" dalam mengelola Pendidikan sehingga menumbuhkan kebingungan Sekolah yang harus memulai ajaran baru di pertengahan Juli 2017 dan sudah tentu ketidakpercayaan publik kepada kebijakan Kemdikbud.
Di media sosial grup Pendidikan, tidak sedikit yang mengatakan jika mereka menjadi Mendikbud, tidak ada tindakan terbaik kecuali menyerahkan amanah kepada Presiden. Karena, meski Menteri adalah jabatan politis dan bebas melakukan kebijakan strategis, tetapi saat ini Kemdikbud hanya diperlakukan seperti Unit Pelaksana Teknis (UPT) saja.
Seharusnya Presiden mendukung Permendikbud tersebut berjalan setidaknya dalam 2 (dua) semester dan bersikap setelah melakukan kajian pelaksanaan, sehingga saat memutuskan menganulir Permendikbud, bisa dilakukan oleh Kemdikbud sendiri berdasar nasehat Presiden yang merujuk kajian selama periode tersebut.
Jika hasil pelaksanaan Permendikbud terbukti bagus, maka perlu diapresiasi dengan memperkuat melalui Peraturan Presiden.
Ujaran Jawa pernah mengatakan "menang tanpa ngasorake". Falsafah ini mengandung arti, kepada musuh pun seseorang pantang merendahkan, apalagi tentu kepada bawahannya.
Mohon maaf, saya melihat dalam menganulir gagasan yang sudah menjadi formal ini, Presiden kurang bijak dan cenderung tergesa-gesa meskipun mungkin gagasan tersebut dianggap salah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.